REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (UGM), Iqmal Taher mengatakan, jutaan hektare lahan mengalami krisis akibat eksploitasi tambang berlebihan. Salah satunya di Bantul.
Ia menilai, tidak sedikit lahan persawahan di Kabupaten Bantul yang mengalami kerusakan. Penyebabnya, aktivitas penambangan lahan untuk produksi batu bata. "Kerusakan banyak terjadi di daerah Banguntapan, Piyungan dan Pleret," kata Iqmal di Kampus UGM, Rabu (10/4).
Jurnal Riset Daerah Wibowo dan Santosa (2017) mencatat 11,689 hektare luas industri batu bata yang termasuk dalam Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Kabupaten Bantul pada 2017. Ia menjelaskan, industri batu bata itu tersebar di tujuh kecamatan. Mulai Kecamatan Banguntapan, Piyungan, Pleret, Sewon, Bantul, Jetis, dan Kecamatan Kasihan.
Iqmal menilai, aktivitas penambangan untuk produksi batu bata makin mengkhawatirkan. Sebab, kegiatan penambangan semakin meluas dan banyak dilakukan di daerah-daerah produktif.
Penggalian tanah secara terus menerus membuat lapisan tanah subur menjadi semakin berkurang, bahkan hilang. Pascatambang, lahan alami degradasi karena tereksploitasi secara besar-besaran.
Sebenarnya, ia menuturkan, pemerintah telah membuat regulasi terkait tambang galian golongan C, termasuk batu bata. Sayangnya, hingga hari ini penegakan peraturanya belum optimal. "Ada dilema karena industri batu bata menjadi mata pencarian utama warga," ujar Dosen Kimia FMIPA UGM tersebut.
Untuk itu, Iqmal mengajukan sejumlah alternatif solusi agar industri batu bata tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Salah satunya menggunakan tanah lahan tidak produktif sebagai bahan baku.
Misalnya, industri batu bata bisa memanfaatkan tanah sedimentasi di sungai-sungai. Langkah lain, melakukan zonasi kawasan industri batu bata, demi mengurangi dan kerusakan lingkungan tidak meluas.
Sedangkan, untuk mengembalikan fungsi lahan bekas galian tambang, dapat dimulai dengan penimbunan bekas galian dengan tanah. Tapi, usaha itu tidak mudah dilakukan dan membutuhkan biaya besar. "Jika tidak ditimbun, bisa dilakukan optimalisasi lahan bekas galian tambang dengan menjadikannya kolam ikan atau tempat wisata kuliner," kata Iqmal.
Pascatambang, sebagian besar lahan selama ini dibiarkan begitu saja tanpa ada pengelolaan lebih lanjut. Saat kemarau, lahan menunjukkan lubang-lubang, dan saat penghujan dipenuhi genangan air.
Peneliti PSLH lain, Arifudin Idrus berpendapat, banyak lahan mati bekas tambang di Kabupaten Bantul yang ditinggalkan. Karenanya, ia mengusulkan pemerintah melakukan revitalisasi bekas galian. "Dengan mengembalikan fungsi lahan melalui pemetaan dan evaluasi," ujar Arif.
Tujuannya, agar aktivitas penambangan tidak merusak lingkungan. Ia menekankan, perlu good mining practice, yang tidak cuma perhatikan kesehatan dan keselamatan kerja tapi pengelolaan lingkungan. Ia menegaskan, penambangan tidak boleh dijadikan kebutuhan sesaat tapi dipikirkan kerbelanjutan lingkungannya. Sebab, nantinya bekas tambang akan diwariskan ke anak-cucu. "Kalau terjadi degradasi lingkungan itu juga akan turut diwariskan," kata Dosen Teknik Geologi FT UGM tersebut.