Selasa 09 Apr 2019 07:55 WIB

Warga Gugat Lahan LRT

Status lahan yang dibangun untuk LRT yaitu status quo yang menjadi alasan gugatan.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Suasana pembangunan proyek LRT di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (5/6).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Suasana pembangunan proyek LRT di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Sejumlah warga di RT 06, 07, dan 08 Kelurahan Jatimulya, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, akan segera melayangkan gugatan klaim lahan oleh PT Adhi Karya di wilayah tanah mereka. Lahan dengan luas 11 hektare itu direncanakan akan dibangun untuk depo kereta lintas rel terpadu (LRT) oleh PT Adhi Karya. Sementara itu, lahan yang akan digugat warga sebagian dari lahan tersebut, yakni seluas 4 hektare.

"Kami akan daftarkan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Jawa Barat setelah pemilu," kata kuasa hukum warga Jatimulya, Riano Osca, Senin (8/4).

Riano menjelaskan, PT Adhi Karya mengklaim lahan yang bukan miliknya. Klaim Adhi Karya didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 1997 tentang penambahan penyertaan modal negara Republik Indonesia ke dalam perusahaannya. "Peraturan ini kami anggap cacat demi hukum," kata dia.

Alasannya karena lahan yang diberikan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ke Adhi Karya itu berada di Desa Setia Darma, Tambun Selatan, bukan di Desa Jatimulya (sekarang Kelurahan Jatimulya). "Desa Setia Darma itu letaknya lebih ke timur dari Jatimulya," ujar Riano.

Terlebih, kata Riano, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi juga menyebutkan lahan itu sekarang memiliki status quo. Hal itu diketahui ketika warga mengadakan rapat dengan BPN pada 2017. "BPN tidak bisa menunjukkan kepemilikan sah lahan milik PT Adhi Karya," kata dia.

Berdasarkan sejumlah alasan itulah warga mengklaim lahan itu milik mereka. "Warga berhak atas lahan itu sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960," ujar dia.

Di dalam peraturan tersebut, kata dia, lahan milik negara yang tidak dikelola kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat secara sosial statusnya akan meningkat menjadi hak milik setelah lebih dari 20 tahun.

Ketua Forum Komunikasi Kampung Jati Terbit yang merupakan salah satu kampung di Jatimulya, Sondi Silalahi, menjelaskan, hanya ada dua lembaga negara yang berhak menetapkan status kepemilikan tanah. Keduanya adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pengadilan. "BPN bilang ini status quo makanya kami menggugat ke pengadilan," kata Sondi.

Sondi mengklaim ada sebanyak 164 keluarga yang memiliki lahan di sana. Lokasinya, kata dia, dari tanggul Kalimalang melebar sampai 100 meter lebih ke dalam hingga dekat Jalan Tol Jakarta-Cikampek.

Adapun panjangnya dari perbatasan Kota Bekasi ke timur sampai 400 meter lebih. Jika dikalkulasikan, menurut Sondi, jumlahnya mencapai hingga 40 ribu meter atau 4 hektare.

Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Pengadahan Tanah BPN Kabupaten Bekasi Agus Susanto mengatakan, memang landasan kepemilikan tanah PT Adhi Karya di Jatimulya itu berdasarkan PP Nomor 3 Tahun 1997 tersebut. "Cuma oleh Adhi Karya belum selesai proses daftarnya di kantor kami sertifiaktnya itu," kata Agus, Senin.

Ia menjelaskan, memang dalam PP tahun 1997 itu dinyatakan tanah penyertaan negara dari Kementerian PUPR untuk Adhi Karya itu di Desa Setia Darma. Namun, setelah itu, kata Agus, ada revisi PP tersebut yang menyebutkan tanah di Kelurahan Jatimulya juga merupakan tanah yang disertakan untuk Adhi Karya. Kemungkinan, kata dia, warga tidak mendapatkan dokumen perubahan tersebut.

"Yang pertama itu yang di Setia Darma, kemudian dilengkapi yang di Jatimulya. Iya itu ada dokumen susulan, yang merupakan revisi satu kesatuan dari dokumen yang lama. Adhi Karya punya itu dokumennya," ujar Agus.

Agus menjelaskan, meski sudah ada dokumen hukum yang menyatakan tanah di Jatimulya itu milik Adhi Karya, proses pendaftaran sertifikat tanah oleh Adhi Karya tidak bisa dituntaskan oleh BPN. Hal itu karena warga juga mengajukan permohonan pembuatan sertifikat tanah atas lahan yang sama.

"Ya karena di sana ada pihak warga yang mengajukan juga, berarti dua-duanya enggak diproses dulu," kata Agus.

Untuk sementara, kata Agus, status tanah itu masih hanya berlandaskan berkas dokumen dari PP tahun 1997 tersebut. Sementara itu, BPN selaku tempat pendaftaran surat kepemilikan tanah tidak bisa menuntaskan surat kepemilikan tanah itu sebelum adanya kejelasan secara hukum.

"Kalau kita masih dalam masalah kan tidak bisa diproses. Harus clean and clear dulu baru diproses," kata dia menegaskan.

Untuk itu, Agus mendukung upaya hukum yang hendak ditempuh oleh warga agar adanya kejelasan status secara yuridis. "Kalau mau melalui jalur hakum tentang siapa yang berhak itu memang ke pengadilan. Itu jalur yang baik biar tidak saling klaim. Biar pengadilan yang putuskan," kata Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement