Senin 08 Apr 2019 09:00 WIB

Strategi Keluar dari Jebakan Pertumbuhan Lima Persen

Pertumbuhan ekonomi digital cukup membantu mengurangi tingkat pengangguran.

Sunarsip
Foto: istimewa
Sunarsip

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip

Diskursus terkait capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali mengemuka dalam sepekan terakhir. Beberapa kalangan menilai bahwa pertumbuhan ekonomi lima persen dalam lima tahun terakhir dianggap “biasa-biasa saja” alias business as usual.

Terlebih, bila dikaitkan dengan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah sebagaimana tertera di RPJMN 2015-2019, yaitu dimulai dari 7,1 persen (2017), 7,5 persen (2018), dan 8,0 persen (2019).

Dengan melihat dinamika realisasi pertumbuhan ekonomi dengan target pemerintah tersebut, tidak mengherankan bila kini muncul istilah 'jebakan lima persen' (five percent growth trap). Karena kondisi inilah sejumlah pihak merasa perlu ada langkah besar (big push) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi keluar dari jebakan lima persen tersebut.

Pertumbuhan ekonomi lima persen sebenarnya cukup baik, tetapi memang tidak cukup untuk mengatasi beragam persoalan saat ini dan tantangan kedepannya (good but not sufficient). Persoalan dan tantangan tersebut, terutama berasal dari pertumbuhan angkatan kerja (terutama angkatan kerja usia muda) yang cepat.

Pertumbuhan angkatan kerja yang cepat tentunya perlu diimbangi dengan dukungan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sekaligus berkualitas. Berkualitas maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi harus mampu memberikan efek penyerapan yang tinggi terhadap tenaga kerja.

Harus diakui bahwa kemampuan pertumbuhan ekonomi kita terhadap penyerapan tenaga kerja saat ini relatif terbatas. Saat ini, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya mampu menyerap sekitar 200 ribu-300 ribu tenaga kerja baru.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan 10-15 tahun lalu, yakni setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap tenaga kerja sekitar 500 ribu orang. Kondisi inilah yang menyebabkan laju penurunan tingkat pengangguran menjadi relatif terbatas.

Melemahnya penyerapan tenaga kerja tersebut, terutama disebabkan oleh karakteristik sektor ekonomi yang membentuk ekonomi kita. Selama ini, sektor ekonomi yang memiliki daya penyerapan tenaga kerja yang besar adalah pertanian dan industri manufaktur.

Sayangnya, kedua sektor ini pertumbuhannya praktis tidak lebih baik dibanding pertumbuhan ekonomi secara nasional. Pangsanya terhadap PDB juga semakin menurun. Di sisi lain, sektor ekonomi yang memiliki pertumbuhan tinggi, umumnya merupakan sektor yang padat modal sehingga daya serapnya terhadap tenaga kerja juga terbatas.

Munculnya ekonomi digital sebenarnya cukup membantu mengurangi tingkat pengangguran. Pemanfaatan teknologi digital dalam aktivitas ekonomi turut membuka kesempatan kerja dan sekaligus menjadi bantalan ketika penyerapan tenaga kerja formal di sektor pertanian dan manufaktur kini melemah. Sayangnya, kehadiran ekonomi digital ini masih terbatas di sektor informal.

Karakteristik penyerapan pekerjanya pun terbatas pada tenaga paruh waktu. Kondisi ini menyebabkan manfaat yang diperoleh pekerja yang bekerja melalui ekonomi digital belum setara bila dibandingkan bekerja di sektor formal, misalnya sebagai pekerja formal di bidang manufaktur.

Berkembangnya teknologi digital telah turut mentransformasi pola perdagangan dengan basis konsumen yang luas. Perkembangan ekonomi digital telah mendorong tumbuhnya sektor perdagangan, terutama UMKM.

Namun, teknologi digital juga membuat persaingan makin ketat. Hal ini menjadi tantangan karena pesatnya perkembangan digital relatif belum diimbangi dengan peningkatan kemampuan dan daya saing pelaku usahanya.

Oleh karena itu, meskipun kehadiran ekonomi digital ini diperlukan, revitalisasi sektor-sektor ekonomi yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi tetap mendesak dilakukan.

Saya mengidenfitikasi dua sektor ekonomi yang perlu direvitalisasi, yaitu pertanian dan manufaktur. Pelemahan kinerja pertumbuhan sektor pertanian terutama disebabkan oleh rendahnya produktivitas. Penyebab rendahnya produktivitas sektor pertanian ini juga beragam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement