REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Lingkungan dari Universitas Indonesia Tarsoen Waryono menilai, kehadiran bus listrik Transjakarta jika diterapkan akan efektif bagi kondisi lingkungan dan transportasi Kota Jakarta. Meski demikian, menurutnya, kehadiran bus listrik Transjakarta tidak akan optimal jika pengelola tidak konsisten dan konsekuen dalam operasionalnya.
"Kalau sudah ada bus listrik, seharusnya nanti semua unit bus Transjakarta diganti semua dengan bus listrik itu," kata Tarsoen saat dihubungi Republika, Rabu (3/4).
Meskipun dianggap cukup efektif, Tarsoen menilai, akan lebih baik apabila pemerintah mengoptimalkan moda transportasi Transjakarta yang sudah lebih dulu ada. Hal ini dinilai lebih optimal ketimbang merancang dan membuat kembali alternatif moda transportasi baru.
Sehingga, menurut Tarsoen, penyediaan bus listrik tidak lantas bisa menjadi jalan keluar dari permasalahan transportasi dan polusi Ibu Kota. "Kendaraan-kendaraan yang sudah tidak efektif ini yang mestinya diganti. Ini karena kendaraan semacam itu yang justru paling banyak mengeluarkan polusi," jelas Tarsoen.
Sementara itu, Dwi Sawung dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengapresiasi langkah pemerintah DKI Jakarta untuk mengoperasikan bus listrik Transjakarta. Menurutnya, langkah itu sudah tepat sebagai upaya mengurangi polusi udara dan kerusakan lingkungan.
Terkait dengan isi ulang baterai, Dwi menilai, akan lebih baik apabila pengelola bisa menyediakan panel matahari di seluruh halte Transjakarta. Hal ini, menurutnya, akan lebih murah ketimbang menggunakan pengisian listrik konvensional.
"Akan lebih bagus kalau semua halte bisa dipasang panel matahari, sehingga armada bus bisa melakukan isi ulang kapan saja," kata Dwi.
Untuk diketahui, bus listrik dalam pengoperasiannya dengan cara mengisi daya. Untuk mencapai baterai terisi penuh dari kondisi kosong dibutuhkan waktu sekitar tiga jam hingga baterai benar-benar terisi 100 persen. Baterai penuh itu dapat digunakan untuk berjalan sejauh 300 km. Saat ini, baru ada dua unit pengisian bahan bakar bus listrik, yakni di Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Terkait hal itu, Dwi meyakini, tidak akan terjadi masalah jika sewaktu-waktu bis kehabisan daya di tengah jalan. Hal ini karena adanya pusat pengendali kontrol bus yang mampu mencatat dan mengatur jadwal pengisian dan perjalanan bus ini.
"Saya kira, itu tidak akan terjadi karena ada pusat pengendali yang mengaturnya, jadi tidak perlu dikhawatirkan," kata Dwi.
Masalah lain yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian bus listrik ini, yaitu harga baterai yang cenderung mahal. Meski demikian, Dwi menilai, harga baterai itu akan sepadan dengan keuntungan yang didapat dari penggunaan.
Dibandingkan dengan bus konvensional, penggunaan bus listrik akan berdampak signifikan dalam mengurangi polusi udara Ibu Kota. "Apalagi, Jakarta itu kan masuk 10 besar kota berpolusi, jadi dengan adanya bus listrik ini polusi akan berkurang banyak," kata dia.
Ia juga menyoroti masalah yang timbul dari polusi udara itu sendiri, yaitu masalah kesehatan warga Ibu Kota. Dengan demikian, Dwi menilai, mahalnya harga baterai tidak seberapa dibanding kerugian hidup yang selama ini dirasakan warga Jakarta akibat polusi.
Selain itu, tambah Dwi, baterai untuk bus listrik pun lebih awet dan tahan lama. Dwi juga menilai, perlu adanya upaya mengganti semua unit bus Transjakarta dengan bus listrik. "Tapi, tentu saja bertahap dan dilihat dulu uji cobanya," kata Dwi.
Sementara itu, PT Transjakarta sendiri berencana melakukan uji coba bus listrik ini. Sebelumnya, bus listrik telah dipamerkan ke publik dalam pameran Busworld Southeast Asia di JIEXPO Kemayoran, Maret lalu. Pengadaannya sendiri merupakan produksi dalam negeri, yakni PT Mobil Anak Bangsa.