Sabtu 30 Mar 2019 07:37 WIB

Disabilitas Juga Mampu Bekerja

Diperlukan kesadaran dan pemahaman agar perusahaan mau menerima disabilitas.

Rep: Rifdah Syifa/ Red: Bilal Ramadhan
Kopi tuli, kopi yang dijual oleh tiga sekawan tuna rungu atau tuli. Kopi ini hadir karena banyak penolakan dunia kerja terhadap mereka yang tuli.
Foto: Republika/Desy Susilawati
Kopi tuli, kopi yang dijual oleh tiga sekawan tuna rungu atau tuli. Kopi ini hadir karena banyak penolakan dunia kerja terhadap mereka yang tuli.

REPUBLIKA.CO.ID, Sulitnya mendapatkan pekerjaan pada sektor usaha formal bagi teman Tuli memang masih dirasakan oleh kebanyakan dari mereka. Badan usaha, baik itu swasta maupun negeri, belum banyak yang membuka diri untuk menerima penyandang disabilitas, terutama teman Tuli.

Padahal, hambatan bagi mereka hanya pada komunikasi yang sebetulnya bisa diantisipasi dengan alat penunjang komunikasi. Buku catatan, misalnya. Dua dari teman Tuli mengaku pernah berkali-kali gagal dalam tahap wawancara pada seleksi penerimaan karyawan di suatu perusahaan. Mereka adalah Adhika Prakoso dan Mohammad Ismail.

Adhika yang sekarang berwirausaha mendirikan Kopi Tuli bersama dua teman Tuli-nya juga pernah 200 kali ditolak oleh perusahaan yang ia lamar. Ismail yang merupakan koordinator Media dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) juga pernah mengalami hal serupa.

Ia beranggapan, hal itu disebabkan saat itu perusahaan belum tahu harus bagaimana Tuli ditempatkan dengan keterbatasan komunikasi yang ada. Pengalaman Ismail yang sudah sering melakukan wawancara mengatakan dia tidak mengalami kesulitan selama proses wawancara.

Ia juga sudah memakai alat bantu dengar dan menyampaikan keterbatasannya kepada tim perekrut saat itu. Namun, pada saat pengumuman, dia dinyatakan tidak lolos. “Tuli sebenarnya bisa bekerja seperti teman dengar pada umumnya. Secara fisik, kita sebetulnya tidak mengalami hambatan,” kata Ismail.

Sekarang ini, kata Ismail, dengan banyaknya program tenaga kerja untuk difabel oleh beberapa lembaga, sudah mulai menyadarkan perusahaan untuk menerima tenaga kerjanya. Tindakan afirmasi juga cukup efektif untuk mendobrak stigma masyarakat. Perusahaan-perusahaan pun secara bertahap bisa menerima kemampuan nonteknis (soft skill), entah untuk magang, pekerja tetap, atau kontrak.

Selain itu, Ismail juga menilai teman disabilitas lainnya mulai optimis. Hanya saja, mereka kurang keterampilan nonteknis (soft skill) sehingga tidak tahu harus bagaimana memulainya. Untuk itu, mereka mulai mencari kerja dengan mengikuti program soft skill terlebih dahulu.

Undang-undang yang menaungi teman Tuli secara general disamakan dengan penyandang disabilitas lainnya. Itu tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada pasal 53 disebutkan bahwa pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Selain itu, disebutkan pula dalam poin selanjutnya bahwa perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Atas dasar itu, harusnya mereka yang telah disebutkan dalam pasal 53 itu dapat menerapkan kebijakan itu sebagaimana mestinya.

Akan tetapi, kenyataannya, menurut Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufroni Sakaril, saat ini persentasenya kurang dari 1 persen bagi perusahaan yang bisa menerima kebijakan itu.

Dia mengatakan, perlu adanya tindakan afirmasi agar perusahaan menerapkan kebijakan itu untuk memberikan jatah kepada disabilitas sebagaimana mestinya. Diperlukan juga kesadaran dan pemahaman terhadap disabilitas bagi perusahaan untuk lebih bisa menerima mereka.

"Kalau (jumlah) persentase sih enggak ada masalah ya, sepanjang itu dipenuhi oleh semua perusahaan," kata Gufroni.

Gufroni juga sedang menunggu disahkannya peraturan pemerintah untuk implementasi dari kebijakan itu. Menurut dia, yang paling penting dari terbitnya kebijakan itu adalah bagaimana penerapannya terhadap perusahaan terkait.

"Tapi, sampai saat ini sih belum ditandatangani. Drafnya sudah ada. Mudah-mudahan tahun ini bisa ditandatangani," ujar Gufroni.

Oleh karena itu, menurut dia, perlu ada timbal balik bagi tiap perusahaan yang sudah atau belum menerapkan kebijakan itu. Bagi yang belum menerapkan kebijakan itu agar dikenakan sanksi yang jelas.

Selanjutnya, bagi perusahaan yang sudah mempekerjakan penyandang disabilitas sesuai kebijakan yang berlaku agar diberikan penghargaan. "Misalnya, berupa insentif pengurangan pajak atau insentif kebutuhan dalam mendapatkan izin," lanjut Gufroni.

Selain itu, PPDI sendiri pun telah berupaya untuk bekerja sama dengan berbagai institusi atau lembaga, baik swasta maupun pemerintah, terkait lapangan kerja untuk disabilitas. Ia menyebut, Carrefour yang memberi kesempatan kepada 500 teman Tuli untuk bekerja di perusahaan itu.

Belum lama juga, kata Gufroni, Kementerian BUMN bersama Forum Human Capital Indonesia (FHCI) membuka lowongan kerja untuk 1.000 penyandang disabilitas. Nantinya, mereka akan dipekerjakan di perusahaan BUMN yang tersebar di Indonesia.

Ada dua hal penting yang disarankan Gufroni untuk disabilitas agar lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Pertama, katanya, mereka harus mempunyai pendidikan setinggi-tingginya. "Kalau bisa, sampai perguruan tinggi," ujarnya.

Kedua, mempunyai keterampilan. Ia menyarankan agar mereka dapat memanfaatkan kursus-kursus atau balai-balai latihan kerja yang ada. Dengan kedua hal tersebut, kata Gufroni, mereka dapat melamar pekerjaan pada sektor formal, baik perusahaan maupun pabrik.

"Kalau itu tidak bisa, dia bisa berusaha jadi wirausaha," kata Ghufroni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement