Sabtu 30 Mar 2019 06:19 WIB

Ngopi Sambil Belajar Bahasa Isyarat

Koptul telah mempekerjakan lima karyawan tuli yang disebar di dua cabangnya.

Rep: Rifdah Syifa/ Red: Bilal Ramadhan
Kopi tuli, kopi yang dijual oleh tiga sekawan tuna rungu atau tuli. Kopi ini hadir karena banyak penolakan dunia kerja terhadap mereka yang tuli.
Foto: Republika/Desy Susilawati
Kopi tuli, kopi yang dijual oleh tiga sekawan tuna rungu atau tuli. Kopi ini hadir karena banyak penolakan dunia kerja terhadap mereka yang tuli.

REPUBLIKA.CO.ID, Menyeruput kopi di kedai kopi sudah menjadi tren semua kalangan, terutama anak muda. Apalagi pada zaman sekarang, kedai kopi makin mudah ditemukan di mana-mana. Entah dimanfaatkan hanya untuk sekadar mengopi atau tempat diskusi, nyatanya kedai kopi memberikan kenyamanan tersendiri bagi para penikmat kopi.

Namun, kedai kopi di daerah Krukut, Kota Depok, memberikan inovasi baru untuk para penikmat kopi. Pembeli tidak hanya disuguhkan kopi, tetapi juga diajak bercengkerama dengan teman Tuli (mereka enggan disebut tunarungu).

Di sana, teman Tuli-lah yang melayani dan menyajikan pesanan pembeli. Bahkan, gelas kopi dan menunya pun dilengkapi dengan simbol dan abjad bahasa isyarat Indonesia (bisindo).

Bisa dilihat ketika pembeli sedang memesan menu. Jika pembeli datang, teman Tuli akan langsung menyapa dengan bisindo dan menunjukkan menunya. Setelah itu, biasanya pembeli langsung menunjuk minuman apa yang ingin dipesannya. Pembeli juga bisa menggunakan bisindo, menu apa yang ingin dipesan.

Namun, bagi yang baru pertama kali ke sana mungkin akan sedikit kebingungan harus bagaimana berinteraksi dengan teman Tuli. Untungnya, teman Tuli di sana cepat tanggap dan mengerti apa yang pembeli katakan lewat gerakan bibirnya.

Dengan begitu, teman Tuli dengan ramah menjelaskan tiap menu yang ada di sana. Jika pembeli kesulitan memahami apa yang dimaksud olehnya, ia telah menyiapkan buku catatan kecil untuk dirinya menulis.

Nama kedainya adalah Kopi Tuli, biasa disingkat Koptul. Dari namanya saja sudah Kopi Tuli, tentunya itu menjadi ciri khas tersendiri bagi si pemilik Koptul. Pemiliknya adalah tiga teman Tuli yang sudah bersahabat sejak kecil. Mereka adalah Adhika Prakoso, Putri Santoso, dan Tri Erwinsyah Putra. Kata Adhika, dinamakan Koptul agar menjadi pembeda dengan kedai kopi lainnya.

Didirikan pada 12 Mei 2018 lalu bukan tanpa alasan. Adhika yang pernah ditolak hingga 200 kali oleh perusahaan tempat ia mencari pekerjaan, menjadi awal mula ide ini muncul, yaitu membangun bisnisnya sendiri.

“Lalu, saya menghubungi dua teman saya, Putri dan Erwin, untuk membangun bisnis bersama,” kata Adhika ditemui Republika beberapa waktu lalu.

Bertemu di kawasan Pondok Indah untuk berdiskusi, Putri menyarankan Adhika untuk membuat bisnis sesuai kesukaan Adhika. Adhika yang menyukai kopi akhirnya menjadikan Koptul sebagai usaha pertama mereka.

Sama-sama tidak punya pengalaman meracik kopi sebelumnya, mereka kemudian berusaha semaksimal mungkin belajar dari nol. Dari proses pemanggangan biji kopi mentah (roasting kopi) di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD) hingga cara memetik biji kopi di Bandung. Mereka juga belajar cara membedakan mana biji kopi yang baik dan mana yang tidak baik.

Kendala saat belajar roasting kopi terjadi ketika mereka tidak bisa mendengar bunyi saat kopi mulai memecah (cracking). Tanpa menyerah, mereka atasi dengan membedakan aroma kopinya dengan indra penciuman mereka.

“Kita bereksperimen terus-menerus dengan manual brew dan espresso, sampai mabok,” seloroh Adhika.

Enam bulan bereksperimen, ditemukanlah cita rasa kopi yang konsisten buatan mereka sendiri. Semua minuman yang ada di Koptul tentunya mereka yang racik. Putri juga pernah punya pengalaman hingga 500 kali ditolak ketika melamar pekerjaan.

Baik Adhika maupun Putri beranggapan bahwa alasannya karena adanya kendala saat berkomunikasi ketika wawancara. Namun, itu bukan menjadi hambatan bagi mereka untuk tetap berkomunikasi dengan teman dengar.

Oleh karena itu, salah satu tujuan berdirinya Koptul adalah sebagai jembatan antara teman dengar dan teman Tuli. “Supaya (mereka) bisa memercayakan teman Tuli,\" kata Adhika.

Pembeli di sana juga betah berlama-lama. Ada yang sambil mengerjakan tugas, ada pula yang sekadar mengobrol dengan teman-temannya. Terlihat juga pembeli yang meminta diajarkan bisindo oleh teman Tuli. Karyawan di sana Asri Alyani siap mengajarkannya di sela-sela waktunya melayani pembeli.

Dengan sambil tersenyum, Asri perlahan-lahan mengajarkan gerakan tangan dari A sampai Z sesuai aturan bisindo. Setelah itu, ia juga mengajarkan bagaimana gerakan ucapan yang sering digunakan sehari-hari.

Terkadang, Adhika juga menyapa pembeli yang duduk di kedai kopi miliknya. Ia juga mengajak mereka untuk saling berkenalan satu sama lain. "Misalkan, saya sudah kenal sama teman yang di sini, sudah kenal sama teman yang di sana, jadi saya ajakin (mereka) berkenalan. Jadi, saya buat mereka berkenalan jadi satu," kata Adhika menjelaskan.

Selain itu, mereka bertiga juga menyiasati dengan membuat nama menu yang unik. Kata Adhika, biar ada pembeli yang bertanya maksud dari menu itu apa. Dengan begitu, mereka bisa saling berinteraksi satu sama lain.

Untuk varian kopi, ada kosu koso, kosu wings, kosu siput, kosu tanah, laut biru, kopi awan, kappucino, dan amerikano. Untuk teh, hanya ada dua jenis menu, yaitu daun susu dan matahari.

Selain itu, bagi yang ingin menikmati minuman cokelat bisa dipesan dengan nama tanah susu. Ada juga arang yang dicampur susu, marmer hitam namanya.

Kosu koso, kosu wings, dan kosu siput merupakan yang sering dipesan oleh pembeli. Ketiga menu itu sama-sama terbuat dari racikan kopi dan susu. Yang membedakan tentunya ada pada rasa yang diracik oleh masing-masing dari ketiga pendiri Koptul.

Kosu adalah singkatan dari kopi susu. Sedangkan koso, wings, dan siput memiliki arti tersendiri. Koso diambil dari nama belakang Adhika, yaitu Prakoso yang artinya kuat (dalam bahasa Jawa).

Kata Adhika, rasa kopinya lebih terasa, sesuai dengan karakter Adhika yang kuat. Sedangkan, wings adalah racikannya Erwin. Kata Adhika, kopinya lembut dan manis karena Erwin memiliki sifat sabar dan lembut.

Lain lagi dengan siput. Put itu berarti Putri. Kopi buatan Putri ini menggunakan campuran alpukat. Kata Adhika, siput adalah rumah pendengaran. Jika alpukat dibagi dua menjadi mirip siput (rumah pendengaran). "Kopi ini lebih lembut, cocok buat perempuan," ujar Adhika.

Saat ini, Koptul telah membuka cabang keduanya di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang didirikan sejak 14 Oktober 2018 lalu. Putri dan Erwin yang bertanggung jawab di Koptul Duren Tiga. Sedangkan, Adhika bertanggung jawab di Koptul Krukut, Depok.

Selain memiliki rencana membuka cabang di seluruh Indonesia dan membangun rumah produksi kopi, mereka juga mempunyai visi memberdayakan teman Tuli lewat Koptul. Mereka ingin agar teman Tuli dapat hidup mandiri dan tidak kesulitan dalam mencari lapangan pekerjaan. Sampai saat ini, Koptul telah memberdayakan lima karyawan teman Tuli. \"Empat di Duren Tiga, satu di sini (Krukut, Depok)," ujar Adhika.

Menurut salah satu pembeli, Siti Sariatus Sholiha, dia bisa sekalian belajar bahasa isyarat. Rasa kopinya pun katanya tidak kalah dengan yang ada di kedai lain. "Tempatnya juga enak, enggak terlalu bising," kata Siti.

Selain itu, Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufroni Sakaril memberikan apresiasi kepada Koptul yang telah mempekerjakan disabilitas. Selain itu, kata dia, hal itu dapat menjadi awareness campaign kepada masyarakat bahwa mereka bisa mandiri dan berkarya.

“Mereka bisa mandiri, bisa berkarya, bisa wirausaha,” ujar Gufroni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement