Jumat 29 Mar 2019 15:56 WIB

KPU Percaya Hoaks Saat Pemilu Sudah Menjadi Industri

Tindakan memanipulasi informasi sudah menjadi strategi kampanye pemilu.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, memberikan keterangan tentang hasil pleno KPU soal larangan caleg dari mantan narapidana kasus korupsi, Rabu (23/5). KPU memutuskan tetap akan memberlakukan aturan yang  melarang mantan koruptor mendaftar sebagai caleg.
Foto: Republika/Dian Erika Nugraheny
Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, memberikan keterangan tentang hasil pleno KPU soal larangan caleg dari mantan narapidana kasus korupsi, Rabu (23/5). KPU memutuskan tetap akan memberlakukan aturan yang melarang mantan koruptor mendaftar sebagai caleg.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi menyatakan hoaks menyasar kandidat lawan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Dia mengatakan, ada pihak yang memang memanipulasi informasi di media sosial agar tercipta kebencian terhadap kandidat lawan.

Manipulasi tersebut, lanjut Pramono, disebarkan secara masif. Bahkan menurut dia tindakan memanipulasi informasi ini sekarang merupakan strategi kampanye. Buzzer maupun influncer pun disewa untuk mendukung kampanyenya.

Baca Juga

"Ini sudah menjadi industri. Enggak peduli mereka, yang penting asal cocok, jalan. Soal isu bisa disesuaikan dengan pesanan. Kalau teman-teman enggak hati-hati itu pasti termakan," kata dia dalam diskusi "Hoax Mengancam Demokrasi" yang digelar PP Pemuda Muhammadiyah di Jakarta, Jumat (29/3).

Pramono dalam kesempatan itu juga menjelaskan cara mendeteksi hoaks. Ketika ada satu isu yang secara tiba-tiba paling banyak muncul di medsos, maka itu dapat dipastikan tidak natural karena ada sistem yang dimainkan.

"Jadi semua akun medsos membicarakan itu. Percayalah, itu sistem yang bermain, bukan natural," kata dia.

Misalnya, papar Pramono, saat muncul isu terkait tujuh kontainer berisi surat suara dan kotak suara kardus. Dia menuturkan, naiknya pembicaraan di medsos soal kotak suara kardus itu pada 14 Desember 2018 lalu, yakni saat KPU tengah sibuk merekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) hasil perbaikan II.

"Saat itu isunya muncul, dan langsung in," katanya.

Begitu pun terkait isu tujuh kontainer surat suara. Pramono mengungkapkan, isu tersebut muncul secara tiba-tiba pada siang hari 2 Januari lalu. Isu itu menjadi marak pada malam harinya. Semua orang membicarakan isu tujuh kontainer tersebut tapi setelah itu langsung lenyap.

"Percayalah itu adalah sistem, direkayasa, bukan natural. Jadi penting bahwa yang begitu-begitu sudah jadi industri yang sangat canggih. Seperti itulah bekerjanya hoaks, terkadang menciptakan ketakutan dan ketidakpercayaan," ujarnya.

Pramono menyebutkan, tantangan sekarang ini adalah bagaimana menciptakan dan membangun pemilih yang terinformasi dengan baik. Sebab pada saat yang sama, ada pihak yang memanipulasi informasi-informasi sedemikian rupa sehingga bukan tak mungkin ada masyarakat yang percaya.

Bahkan, kata Pramono dengan mengutip hasil survei SMRC, ada 4 persen responden yang percaya dengan isu tujuh kontainer berisi surat suara. Persentase ini jika dijumlahkan sekitar 7,7 juta orang.

"Jadi kira-kira 7,7 juta orang percaya bahwa tujuh kontainer surat suara itu nyata ada. Itulah, hoaks untuk memanipulasi kognisi seseorang. Itu mengerikan sekali. 4 persen bahkan," ungkapnya.

"Marilah kita bermedsos dengan bijaksana untuk membangun eksistensi kita bukan sekadar eksis tapi bermanfaat secara lebih berguna," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement