REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah muncul wacana pemerintah memidanakan pengajur golongan putih (golput), muncul pertanyaan di masyarakat. Pertanyaan tersebut, yakni apakah mengunggah komentar di media sosial tentang keputusan golput termasuk bentuk hasutan dan ajakan yang dimaksud pemerintah?
Pemerintah memunculkan wacana untuk memidanakan penganjur golongan putih (golput) dalam pemilihan umum (pemilu) nanti. Wacana tersebut dilontarkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto.
Wiranto menyebutkan, pihak yang mengajak masyarakat untuk golput dapat dikenakan sanksi hukuman. Menurut Wiranto, mengajak masyarakat golput merupakan tindakan yang mengacau.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Afifudin menyebutkan, pada dasarnya golput atau sikap politik untuk tidak memilih dalam pemilu merupakan hak setiap individu sebagai warga negara Indonesia. Artinya, mengunggah sikap golput di media sosial sebetulnya boleh dilakukan.
Namun, Afif mengatakan, Bawaslu tidak ingin terlibat dalam polemik pidana atau tidaknya ajakan golput. Bawaslu lebih memilih berlari lebih kencang untuk melakukan sosialisasi menggunakan hak pilih.
"Namanya hak kan boleh dia lakukan. Namun, bagaimana kita beradu cepat, beradu argumen untuk yakinkan lebih baik gunakan hak pilih ketimbang tidak. Bukan kewajiban (untuk memilih), tetapi kami endorse semua pihak memaksimalkan hak pilih," kata Afif usai diskusi di Hotel Mercure Jakarta, Kamis (28/3).
Di sisi lain, Afif juga mengingatkan, sebetulnya, ancaman pidana bagi oknum yang dengan sengaja menghasut atau mengajak orang lain tidak menggunakan hak pilihnya, alias golput sebetulnya sudah diatur dalam Undang-Undang (UU). Dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ada dua pasal yang ia sebut secara spesifik memiliki hubungan dengan ajakan golput atau mobilisasi massa untuk tidak memilih dalam pemilu.
Anggota Bawaslu Mochammad Afifudin. (Republika/Prayogi)
Dua pasal tersebut, yakni pasal 515 dan 531 UU Pemilu. "Namun, saya dalam posisi ingin sampaikan bahwa memilih adalah hak, dan pilihan terbaik adalah menggunakan hak pilih. Saya tak ingin masuk dalam polemik yang sebetulnya bukan domain kami (Bawaslu)," kata Afif.
Pasal 515 UU Pemilu menyebutkan, "Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suaramenjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta."
Sementara dalam pasal 531 UU Pemilu, disebutkan bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta."
"Jadi mobilisasi dalam arti mengajak orang untuk tidak memilih. Misalnya juga yang sekarang agak rame itu soal intimidasi di TPS, setiap orang yang melakukan kekerasan atau menggagalkan pemungutan suara bisa dijerat pasal tersebut," kata Afif.
Sebelumnya, Wiranto mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Jika ada sesuatu yang tidak tertib atau yang membuat kacau, maka akan ada sanksi hukuman bagi pihak-pihak yang membuat ketidaktertiban atau yang membuat kacau itu.
Menurut dia, ada banyak UU yang bisa dikenakan terhadap pihak-pihak tersebut. "Kalau UU Terorisme nggak bisa, UU lain masih bisa, ada UU ITE, UU KUHP bisa. Indonesia kan negara hukum," terangnya.