REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengimbau masyarakat untuk tidak terlalu khawatir dengan fenomena ekuinoks. BMKG menjelaskan informasi yang menyebutkan fenomena alam ini dapat menyebabkan peningkatan suhu ekstrem berakibat sun stroke dan dehidrasi tidaklah tepat.
"Ekuinoks adalah salah satu fenomena astronomi di mana matahari melintasi garis khatulistiwa dan secara periodik berlangsung dua kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 21 Maret dan 23 September," ungkap Deputi Bidang Meteorologi BMKG Mulyono Rahadi Prabowo, Selasa.
Ekuinoks tidak selalu mengakibatkan peningkatan suhu udara secara drastis maupun ekstrem. Secara umum, menurut Mulyono, rata-rata suhu maksimum di wilayah Indonesia berada dalam kisaran 32-36 derajat Celcius.
Berdasakan pengamatan BMKG, suhu maksimum tertinggi pada 23 Maret 2019 tercatat 37,6 derajat Celcius terjadi di Meulaboh, Aceh. Ekuinoks bukan merupakan fenomena seperti gelombang panas atau heat wave yang terjadi di Eropa, Afrika, dan Amerika yang merupakan kejadian peningkatan suhu udara ekstrem di luar kebiasaan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Prabowo mengimbau masyarakat untuk tidak perlu mengkhawatirkan dampak dari Ekuinoks sebagaimana disebutkan dalam isu yang berkembang. Secara umum, kondisi cuaca di wilayah Indonesia cenderung masih lembab atau basah. Beberapa wilayah Indonesia saat ini sedang memasuki masa atau periode transisi pancaroba.
"Ada baiknya, masyarakat tetap mengantisipasi kondisi cuaca yang cukup panas dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan tetap menjaga kesehatan keluarga serta lingkungan sekitar," katanya.