REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agata Eta, Mimi Kartika, Rahayu Subekti
Moda Raya Transportasi (MRT) hari ini resmi beroperasi untuk publik setelah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Ahad (24/3). Pada hari pertama operasional MRT, terpantau penumpang tidak terlalu ramai seperti saat uji coba publik pekan lalu.
Di Stasiun Lebak Bulus terlihat tidak ada antrean penumpang. Asep Sofyan, salah satu petugas yang berjaga di Stasiun Lebak Bulus mengatakan, bahwa pada hari pertama pengoperasian MRT cenderung sepi.
"Hari pertama sepi, mungkin karena saat uji coba kemarin masyarakat bisa mendaftar langsung di stasiun dengan KTP jadi lebih terbantu," katanya.
Dari enam gerbong MRT yang dioperasikan dengan rute Stasiun Lebak Bulus hingga Stasiun Bundaran HI tidak semua kursi terisi. Pada hari pertama operasional ini, mulai ada masyarakat yang naik dari stasiun-stasiun yang dilewati oleh rute satu seperti Stasiun Fatmawati, Stasiun Asean dan Stasiun Haji Nawi.
Perlu diketahui, mulai Senin (25/3), MRT memberlakukan fase operasi tak berbayar. Masyarakat masih bisa menaiki MRT secara gratis dengan mendaftar secara daring lewat situs ayocobamrtj.com.
Pendaftaran itu dapat dilakukan untuk keberangkatan hari H pendaftaran hingga H+1. Setelah mendaftar, masyarakat akan mendapatkan e-tiket yang dikirim lewat email yang selanjutnya harus ditunjukkan kepada petugas di pintu masuk. Masyarakat dapat menaiki MRT mulai pukul 05.30 hingga pukul 22.30 WIB.
Berdasarkan pantauan di Stasiun Lebak Bulus, banyak masyarakat yang belum mengetahui fase operasi tidak berbayar ini. Akibatnya mereka pun melakukan pendaftaran daring di stasiun dengan dipandu oleh petugas.
"Saya baru tahu kalau harus daftar online" ujar Suparti, salah seorang penumpang yang ditemui di Stasiun Lebak Bulus.
Sementara itu, suasana serupa juga terjadi di Stasiun Bundaran HI. Di pintu-pintu masuk banyak calon penumpang yang mengantri sambil melakukan daftar daring dibantu petugas.
Poppy, seorang penumpang yang hendak menuju Senayan ini mengaku pengoperasian MRT sangat membantu mobilitas dirinya yang bermukim di kawasan Fatmawati. "Ini kan masih gratis jadi lumayan untuk menghemat pengeluaran," kata karyawati swasta itu.
Ia berencana menggunakan moda transportasi itu untuk mobilitasnya ke kantor. "Tapi kalau harganya terlampau mahal mungkin saya akan pikir ulang," katanya.
Menurut Poppy, rentang harga di kisaran Rp 10.000 cukup terjangkau bagi dirinya mengingat fasilitas MRT yang ada dan daya tempuh yang lebih cepat dibanding moda transportasi lain.
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengatakan, tarif MRT Jakarta akan diputuskan oleh DPRD DKI Jakarta pada Senin (25/3) ini. Ia menyebut, rata-rata tarif MRT Rp 1.000 per kilometernya.
"Mengenai tarif hari ini nanti akan diputuskan bersama dengan dewan secara umum seperti saya sampaikan kemarin rata-rata adalahh 1.000 rupiah per kilometer," ujar Anies di Halte Bundaran Hotel Indonesia (HI), Senin pagi.
Ia menjelaskan, penentuan tarif MRT bukan tarif rata-rata satu kali perjalanan dengan tarif flat. Melainkan, tarif ditetapkan berdasarkan jarak yang ditempuh penumpang melalui stasiun yang dilaluinya.
"Nanti kalau sudah selesai diketok maka Anda akan lihat tabel dari stasiun a ke stasiun b berapa, dari stasiun c ke stasiun e berapa, tarifnya bukan tarif yang flat, tapi tarif antarstasiun," jelas Anies.
DPRD DKI Jakarta dijadwalkan akan menyelenggarakan rapat pimpinan gabungan hari ini. Rapat digelar untuk menetapkan tarif MRT Jakarta dan Lintas Rel Terpadu (LRT) Jakarta.
"Senin Insyaallah harganya sudah ada. Harganya sudah ada, debatable-nya itu di atas Rp 10.000, di bawah Rp 16.000. Kali ini cocok nih," kata Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsud usai peresmian MRT Jakarta di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (23/3).
Sebelumnya, Pemprov DKI mengusulkan tarif MRT Jakarta sebesar Rp 10 ribu dari tarif keekonomian sebesar Rp 31.659. Sehingga, angka subsidi untuk MRT sebesar Rp 21.659 per penumpang atau Rp 672,38 milliar untuk 2019.
Sedangkan, tarif moda Lintas Raya Terpadu (LRT) fase I rute Kelapa Gading-Velodrome diusulkan Rp 6.000 dari tarif keekonomian Rp 41.655. Dengan begitu, jumlah subsidinya mencapai Rp 35.655 per penumpang.
Direktur Utama PT MRT Jakarta, William P Sabandar mengatakan pembayaran MRT nantinya bisa menggunakan uang elektronik (e-Money) dari BRI, BNI, Mandiri, BCA dan Bank DKI. Menurut dia, e-Money dari kelima bank tersebut bisa dipakai saat MRT Jakarta beroperasi komersial pada 1 April 2019 nanti.
"Bisa jadi ada lima bank yang sudah bekerja sama jadi empat yaitu BRI, BNI, Mandiri, dan BCA plus Bank DKI itu semua bisa dipakai pada saat operasi komersial dimulai," ujar William di Halte Transjakarta Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (25/3).
Sementara, ia menjelaskan, untuk 25-31 Maret 2019, MRT Jakarta masih digratiskan untuk masyarakat umum. Akan tetapi, bagi warga yang ingin merasakan naik Ratangga harus mendaftar terlebih dahulu melalui situs ayocobamrtj.com.
Menurut William, masyarakat bisa mendaftar langsung di stasiun-stasiun keberangkatan MRT. Hal ini, kata dia, untuk memudahkan warga yang ingin mencoba moda transportasi teranyar di ibu kota.
"Iya seperti itu, tapi dimudahkan jadi Anda ke stasiun buka ayocobamrtj.com dan langsung bisa klik disitu tunjukan QR code disitu," kata William.
Tarif MRT Harus Terintegrasi
Pengamat transportasi yang juga Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana menilai agar MRT dapat eksis atau bertahan harus menerapkan tarif yang terpadu atau terintegrasi. Saat ini meski MRT sudah diresmikan, namun pemerintah belum mengumumkan tarif yang berlaku pada April 2019.
Sementara masih terus digodok tarifnya, Aditya mengharapkan pemerintah harus menerapkan tarif yang terpadu dengan moda transportasi lainnya. “Kalau ingin masyarakat beralih ke MRT, pertama tarif yang diberikan harus tarif yang terjangkau. Dalam artian bahwa tarif itu sebetulnya yang terpadu moda artinya MRT tidak bisa berdiri sendiri dengan tarif tunggal, harus bisa diintegrasikan dengan moda transportasi lainnya,” kata Aditya kepada Republika, Ahad (24/3).
Misalnya, kata Aditya, jika nantinya pemerintah menetapkan tarif MRT Rp 10 ribu maka nominal tersebut bisa termasuk moda transportasi lainnya, seperti Transjakarta atau angkutan lain. Jika hal tersebut diterapkan, menurut Aditya baru bisa dikatakan tarif MRT terpadu moda.
Dia menilai, sistem tarif tersebut yang paling diharapkan masyarakat terutama yang masih harus berpindah moda lainnya saat menuju ke lokasi tujuan. “Dari lokasi A ke B dan ke C. Jangan sampai tarifnya A ditambah tarif B ditambah tarif C. Harusnya tarif sudah bundling dalam satu paket sebagai tarif integrasi antarmoda,” ungkap Aditya.
Selain itu, Aditya menyarankan tarif MRT akan lebih ideal jika sifatnya tidak tarif tunggal. Artinya, lanjut dia, tarif MRT harus berdsarkan jarak atau jumlah kilometer bukan flat sehingga mahal untuk jarak dekat.
Aditya menilai, jika dikenakan tarif tunggal maka masyarakat masih akan terdorong lebih memilih transportasi alternatif seperti kendaraan pribadi atau ojek daring yang lebih murah. Bahkan, Aditya mengatakan MRT harus bisa menerapkan integrasi ticketing dalam sistem pembayaran.
“Jangan sampai setelah moda transportasi nanti menerbitkan kartu masing-masing, dompet kita bisa tebal sama kartu-kartu. Jadi moda transportasi ga efisen,” tutur Aditya.
Dengan begitu, MRT akan lebih dilirik jika sistem pembayaran dengan satu kartu yang sama berikut juga tarif yang terpadu moda. Sebab, menurutnya membutuhkan pemerintah perlu membuat dorongan yang lebih menarik agar membuat masyarakat khususnya pengguna kendaraan pribadi berpindah ke transportasi massal.
Mengenal MRT Jakarta