REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi sejumlah barang bukti hasil penyitaan di gedung DPR RI beberapa waktu lalu kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI, Indra Iskandar. Indra diperiksa sebagai saksi perkara dugaan suap pengurusan dana perimbangan daerah Pegunungan Arfak, Papua Barat.
Kasus ini telah menjerat dua tersangka, yakni anggota DPR Fraksi PAN Sukiman dan Plt Kadis Pekerjaan Umum Pegunungan Arfak Natan Pasomba. Usai diperiksa kepada wartawan Indra mengaku ditanyai penyidik ihwal beberapa dokumen yang beberapa waktu lalu sudah disita penyidik KPK.
"Antara lainnya adalah risalah-risalah rapat Komisi XI dan di Banggar DPR antara periode 2016 sampai 2017," kata Indra di Gedung KPK Jakarta, Kamis (21/3).
Selain itu, sambung Indra, penyidik KPK juga mengonfirmasi identitas Sukiman, serta komisi dan jabatannya di Banggar DPR. Dalam kesempatan sama, Indra pun memastikan Sukiman masih mendapat gaji selaku anggota DPR RI meskipun dia sudah berstatus tersangka korupsi di KPK.
"Ya basis kami di Kesekjenan adalah keputusan Presiden jadi sejauh belum ada keputusan Presiden menyangkut tentang pemberhentian hak-hak sebagai anggota dewan tetap kami berikan (gaji)," kata Indra.
Selain Indra, Wakil Bupati Pegunungan Arfak Marinus Mandacan juga dijadwalkan diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK. Namun, Marinus tak memenuhi panggilan KPK.
"Belum diperoleh informasi terkait ketidakhadirannya sampai sore ini," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan anggota komisi XI DPR RI Sukiman dan Natan Pasomba sebagai tersangka. Sukiman diduga terima suap dari Natan sebesar Rp 2,65 miliar dan 22 ribu dollar AS melalui beberapa pihak sebagai perantara.
Suap diberikan untuk mengatur penetapan alokasi anggaran dana perimbangan daerah pada APBN-P 2017 dan APBN 2018. Dari pengaturan itu, Kabupaten Arfak mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada APBN-P 2017 sebesar Rp 49,915 miliar dan alokasi DAK pada APBN 2018 sebesar Rp 79,9 miliar.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Sukiman yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Natan yang menyandang status tersangka pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam mengusut kasus ini, tim penyidik juga telah menggeledah sejumlah lokasi dan menyita sejumlah dokumen. Beberapa di antaranya, rumah pengusaha rekanan di Jakarta dan Manokwari dan rumah mantan pejabat Dinas Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak.
Kasus yang menjerat Sukiman dan Natan ini pengembangan dari kasus suap yang menjerat anggota Komisi XI dari Fraksi Demokrat Amin Santono; Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemkeu) Yaya Purnomo; seorang konsultan bernama Eka Kamaludin; serta kontraktor Ahmad Ghiast. Keempat orang tersebut telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Amin Santono dan Eka Kamaludin dihukum 8 tahun pidana penjara, Yaya Purnomo 6,5 tahun pidana penjara dan Ahmad Ghiast dihukum 2 tahun pidana penjara.