Kamis 21 Mar 2019 05:17 WIB

Journey to Mosques: Indahnya Salam Menebar Kedamaian

Assalamu'alikum Wr Wb merupakan salam indah untuk menebar kedamaian

Suasana di Masjid Kota Aswan, Mesir.
Foto: Uttiek M Pandji Astuti
Suasana di Masjid Kota Aswan, Mesir.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

Ada yang tidak biasa dalam sidang parlemen New Zealand Selasa (19/3) kemarin. Perdana Menteri Jacinda Ardern menutup pidatonya dengan mengucapkan salam, “Assalamualaykum.”

Seuntai kalimat indah itu sarat maknanya. “Semoga keselamatan tercurah untukmu”. Meski hanya satu kalimat, efeknya sungguh luar biasa.

Sang Perdana Menteri menuai pujian dari seluruh dunia. Karena dianggap mengerti perasaan duka keluarga. Dan menebarkan pesan kedamaian atas tragedi yang mengoyak rasa kemanusiaan itu.

Kata salam seakar kata dengan Islam. Aslama - yuslimu - islaman. Yang artinya selamat.

Berkali-kali saya membuktikan “saktinya” kata salam yang diucapkan pada orang-orang yang tidak dikenal sekalipun.

Pertanyaan terkait ini juga sempat dilontarkan dalam acara bedah buku JOURNEY TO SAMARKAND di Solo (9/3) lalu. “Mbak, bagaimana cara mengenali muslimah di luar negeri?” Yang saya jawab dengan, “Ucapkan salam disertai senyuman.”

Tak hanya di negeri-negeri Muslim, di belahan bumi lain pun saya merasakannya. Di London, ucapan salam itu berbuah perbincangan manis dengan mahasiswi Aljazair di sebuah kedai kopi di Regent Street.

Di Osaka, Jepang, seorang pedagang ikan menyapa saya dengan ucapan salam karena melihat saya berhijab. Yang membuat saya merasa disambut hangat.

“Kalimat sakti” itu pula yang selalu saya ucapkan saat memasuki rumah-rumah Allah di lengkung-lengkung bumiNya yang jauh.

Di salah satu masjid kecil di kota Aswan, di ujung Timur Mesir, saya punya pengalaman tak terlupakan.

Enam orang perempuan itu bicara cepat. Seorang yang paling tua terlihat mondar-mandir dengan tongkatnya. Ia mencari sesuatu.

Semua seperti sedang mengomeli perempuan yang berada tepat di depan saya dan sedang sibuk memakai kaus kaki panjangnya.

Tiba-tiba perempuan yang sedang memakai kaus kaki panjang itu mengulurkan telunjuknya ke arah saya. Semua mata memandang, seperti menanti jawaban. Menjadi "tertuduh" seperti itu jelas membuat saya kaget dan bingung.

Enam orang perempuan yang mengerumuni saya menanti jawaban atas pertanyaan yang saya tidak mengerti.

Ya, saya tidak mengerti apa yang mereka ributkan. Karena dialek bahasa Arab di kota Aswan ini sudah sangat berbeda dengan yang saya dengar di Kairo. Apalagi dengan dialek di Saudi. Saya sudah tidak bisa menangkap satu kata pun.

Penduduk kota Aswan sebagian adalah keturunan suku Nubian dan sebagian lainnya adalah campuran Sudan. Karena posisi Aswan yang hanya berjarak 40 km dari perbatasan Sudan.

Secara fisik mereka sudah "berbeda". Berkulit hitam legam. Yang laki-laki rambutnya keriting kecil-kecil, berhidung mungil dan berbibir tebal.

Melihat mereka mengenakan gamis tradisional yang disebut galaibaya, saya jadi membayangkan sosok sahabat Bilal. Mungkin seperti mereka personifikasinya.

" What happened?" Tanya saya. Semua berebut bicara. "Anyone speak English?" tanya saya tambah bingung.

Seorang perempuan bertubuh besar yang duduk di kursi paling ujung terlihat seperti menahan nafas sebelum berkata, "Door... door," ucapnya sambil memberi isyarat sebuah pintu.

Saya mencoba berpikir, apa maksudnya? Lalu ia meneruskan bahasa isyaratnya seperti orang mengunci pintu. Aahh... Mengertilah saya apa yang dimaksud.

Tadi saya datang ke masjid ini tepat ketika adzan berkumandang. Seorang perempuan yang berada di dalam ruang shalat perempuan ini menitip pesan, "Finish... sholi...," lalu ia membuat gerakan seperti memasang gembok.

Setelah itu ia pergi. Saya tak begitu memperhatikan. Hanya menjawab yes-yes saja dan segera berjalan ke tempat wudhu.

Rupanya mereka mencari kunci ruangan ini. Semua saling tunjuk siapa yang datang paling awal dan membukanya.

Di antara semua yang ada, memang saya yang datang duluan, sebelum perempuan yang sibuk memakai kaus kaki panjang itu.

Tapi saya juga tidak memperhatikan di mana perempuan yang tadi menitip pesan menyimpan kunci ruangan ini.

Tiba-tiba si nenek yang memakai tongkat itu berseru. Sepertinya ia menemukan yang dicari.

Semua tertawa lega. Apalagi saya! Kebayang, kan, jadi "tertuduh" menghilangkan kunci masjid di negeri orang?

Saat akan meninggalkan masjid, saya ucapkan salam pada mereka semua. Nenek yang memakai tongkat itu mendekat lalu memegang kepala saya.

Di Indonesia hal ini pastilah dianggap tidak sopan. Memegang kepala orang yang tak dikenal. Tapi di Mesir, itu justru ungkapan untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang.

Mungkin nenek itu merasa bersalah karena ikut “menuduh” saya menghilangkan kunci. Dengan seulas senyum manis dan ucapan salam, semua dapat teratasi.

Ucapan salam menebar kedamaian dan meredakan kemarahan. Kalau Perdana Menteri Jacinda Ardern saja paham betul itu, mengapa masih banyak Muslim enggan mengucapkannya?

“Kalian tidak akan masuk surga hingga beriman. Kalian tidak akan beriman sampai saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada kalian suatu amalan yang jika dilakukan maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54).

Jakarta, 20/3/2019

Uttiek

Follow me on IG @uttiek.herlambang |Fb @uttiek_mpanjiastuti |www.uttiek.blogspot.com

Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement