Rabu 20 Mar 2019 04:12 WIB

Para Pelari yang tak Mengejar Medali

Disabilitas tak harus dikasihani, tapi yang penting mereka diberi ruang.

 Andi Nur Aminah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*

Ahad pagi yang cerah di Boulevard RS Universitas Indonesia, Depok, mata saya tertuju pada serombongan ibu-ibu berkostum hijau. Mereka kebanyakan mendorong stroller. Senyum merekah di bibir mereka. Sesekali terlihat para ibu ini membetulkan posisi anak yang duduk di atas stroller.

Para ibu tersebut, terlihat bersemangat mendorong anak-anak mereka yang kondisi umumnya mengalami Cerebral palsy. Hal yang dimaksud Cerebral palsy adalah gangguan gerakan otot atau postur yang disebabkan cedera atau perkembangan tak normal pada otak.  Kondisi ini menjadikan mereka terlahir cacat bawaan

Namun para ibu-ibu ini penuh antusiasme berlari, ya berlari dengan anak dalam kereta dorong. Kaki para ibu itu memang sempurna. Yang tak sempurna adalah putra putri mereka. Sebagai sesama ibu, saya bisa merasakan gemuruh batin mereka saat mengetahui kondisi fisik sang buah hati yang harus ‘berbeda’ dengan anak-anak lainnya.

“Butuh energi lebih mengurus anak dengan kondisi ‘spesial’, harus sabar dan tak boleh berputus asa, itu yang harus kami tunjukkan. Anak-anak ini adalah titipan Allah, dari kekurangannya pasti ada kelebihannya, kami harus tetap memberi semangat,” kata Afni, salah seorang ibu dari peserta 'Equal Fun Run 2019' yang berlangsung di Kampus Univeritas Indonesia, Ahad (17/3).

Sebuah event keren yang menghadirkan ratusan pelari dengan kondisi difabel dan berbaur dengan orang-orang berfisik sempurna pertama kalinya digelar.

Menurut informasi dari kepala Humas dan KIP UI, Rifelly Dewi Astuti, tercatat sedikitnya ada 300 peserta difabel yang ikut berlari di ajang ini. Sebanyak 50 persen di antaranya anak Cerebral palsy, 30 persen pengguna prostesis atau kaki palsu dan 20 persen paralisis atau pengguna kursi roda dan tongkat.

Karena itu, tak heran fun run kali ini pemandangannya sangat unik.  Ada seorang gadis kecil cantik yang terlihat wara wiri ke sana ke mari dengan lincahnya. Jika tak cermat memperhatikannya, mungkin tak akan menyadari jika Aira, gadis kecil berusia 9 tahun itu menggunakan kaki prostetik.

Putri saya yang menemani hadir di acara itu, saat mengamati Aira dari kejauhan, hanya melihat Aira menggunakan kostum dengan salah satu lengannya kosong. Ya, salah satu lengan Aira memang buntung. Tapi putri saya tak menyadari kalau kedua kaki Aira itu palsu.

Selain Aira, ada ratusan lagi yang berlari dengan tongkat, ada yang tartatih-tatih namun tetap semangat berlari dengan hanya satu kaki, dan ada memacu kursi rodanya penuh semangat. Lalu ada pula rombongan tunanetra yang berbaris sambil memegang pundak kawan di depannya. Mungkin karena tak sanggup berlari, koloni kecil ini berusaha berjalan cukup cepat dan mengejar orang-orang yang melaju dari kiri kanan mereka.

Jujur, sebagai orang dengan fisik normal, menyaksikan momen ini, perasaan saya jadi campur adik. Semangat mereka luar biasa. Seorang ibu yang anaknya mengalami lumpuh sejak lahir mengatakan, anaknya tak sabar ingin cepat-cepat sampai ke UI mengetahui ada acara ini. “Hampir-hampir tak bisa tidur, mau cepat-cepat subuh biar segera tiba di UI,” kata Nugra yang datang dari Bogor.

Menjadi ajang sosialisai, berkumpul dan bersenang-senang memang menjadi salah satu tujuan event ini digelar. Coki Tobing dari Dare Foundation mengatakan, ini pertama kalinya ada ajang lari yang membaurkan pengguna kaki palsu dan disabilitas untuk lari bersama di komunitas yang majemuk dan setara. Yakni antara pengguna prostesis dan non-pengguna prostesis.

Dari acara ini juga diharapkan bisa mengubah paradigma bahwa disabilitas bukanlah individu yang harus dikasihani. Karena dengan memberi ruang, sesungguhnya mereka bisa menunjukkan bahwa mereka mampu berprestasi dan tak perlu dikasihani.

Di ajang ini, panitia menyiapkan 100 medali bagi pelari yang tercepat tiba di garis finish. Namun bisa ditebak, medali-medali tersebut kebanyakan diraih para peserta dengan kondisi yang normal. Banyak yang tiba di garis finish dengan kondisi yang sepi.

Bangga? Entahlah, karena lawan mereka adalah pelari tanpa kaki sempurna, yang tertatih melangkah dengan satu kaki, pakai kaki palsu, pakai kursi roda, atau ditemani tongkat. Mereka inilah juara sesungguhnya .

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement