Senin 18 Mar 2019 05:00 WIB

Hukum Jangan Tajam ke Bawah

Aksi saling melapor hanya membuat iklim politik menjadi semakin panas.

Ratna Puspita
Foto: dok. Republika
Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*

Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 pada 17 April mendatang, aksi melaporkan ke polisi turut memwarnai pemberitaan media massa. Misalnya pada Jumat (8/3) pekan lalu, Divisi Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf Amin memenuhi panggilan penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri untuk dimintai keterangan soal tiga laporan.

TKN pernah membuat laporan yang merupakan fitnah dan hoaks yang ditujukan untuk Jokowi secara pribadi maupun sebagai calon presiden. Laporan pertama dengan nomor LP/B/0285/III/2019/BARESKRIM terkait video yang menuduh Jokowi menggunakan fasilitas negara.

 

Laporan kedua dengan nomor LP/B/0286/III/2019/BARESKRIM., yakni rekaman suara yang menyebutkan Jokowi bukan seorang warga negara Indonesia dan tenaga asing yang akan memilih di Pemilu 2019. Laporan ketiga yakni tentang video kampanye seorang perempuan yang menyebut pelajaran agama akan dihapus jika Jokowi terpilih, laporan itu tercantum nomor LP/B/0287/III/2019/BARESKRIM.

Tidak hanya tim kampanye, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga disibukkan dengan pembuatan laporan ke kantor polisi. Pada Senin (4/3) lalu, KPU melapor ke Bareskrim perihal hoaks surat suara dicoblos.

Sebelumnya, KPU melaporkan tentang kepemilikan e-KTP warga negara China ke pihak kepolisian. KPU menyerahkan kepada kepolisian untuk mengetahui apakah isu kepemilikan e-KTP warga negara China berinisial GC itu kabar bohong atau bukan.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesai Prof Jimly Asshiddiqie juga pernah merespons kasus penangkapan tiga ibu rumah tangga yang menyebarkan kabar mengenai calon presiden pejawat Joko Widodo dalam kampanye secara //door to door. Jimly meminta kasus itu tidak diselesaikan dengan tangan besi agar tidak memperuncing iklim demokrasi yang kian panas.

Jimly tidak hanya satu kali mengungkapkan kekhawatiran tersebut. Jimly kembali mengulang kekhawatirannya terhadap aksi melaporkan pernyataan di ruang publik ke polisi pada Rabu (13/3).

Menurut Jimly, proses penegakan hukum memang baik dan dibutuhkan pada kehidupan bernegara serta berbangsa. Kendati demikian, menurut Jimly, hukum juga diberlakukan terhadap hal yang khusus dan berpengaruh buruk kepada masyarakat dan negara.

Bahkan, Jimly mengutarakan bahwa suasana demokrasi yang telah dibangun secara baik sejak reformasi dapat rusak kembali jika perbedaan pendapat selalu jadi alat untuk mempidanakan seseorang. Menurut Jimly, tidak semua manusia harus sama ide dan pendapatnya, termasuk soal agama dan pilihan politik.

Pendapat Jimly ini dapat dipahami. Aksi saling melapor yang terjadi sekarang ini hanya membuat iklim politik menjadi semakin panas. Aksi saling lapor ini berpotensi membuat perdebatan, yang kadang berujung pada perselisihan, di masyarakat, khususnya media sosial.

Tidak hanya itu, penegakan hukum ini bisa jadi memunculkan persepsi yang tidak baik bagi penegak hukum dan pemerintah. Dalam kondisi yang terbelah menjadi dua kelompok sekarang ini, masyarakat saling curiga. Ketika kepolisian memprosesnya kubu yang berseberangan maka bukan tidak mungkin ada tuduhan bahwa kepolisian menjadi alat penguasa.

Apalagi, kasus-kasus tersebut menjadi perbincangan di media sosial. Di sisi lain, perang wacana di media sosial kerap memunculkan polarisasi atau pembagian menjadi dua kelompok orang yang berlawanan. Kondisi ini, seperti kata Jimly, hanya akan memunculkan anggapan bahwa hukum semakin tajam ke bawah.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement