REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Faktor utama penyebab bencana banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura Provinsi Papua adalah curah hujan yang tinggi. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) IB Putera Parthama di Gedung Manggala Wanabakti, Selasa (19/3).
Ia menjelaskan, curah hujan yang sangat tinggi mulai pukul 19.00 WIT sampai dengan 23.30 WIT terjadi di wilayah tersebut. Debit air di wilayah Sentani pada malam itu melebihi kondisi normal mencapai 193,21 meter kubik per detik yang menyebabkan debit aliran tinggi. "Sementara itu, mulut sungai terhitung kecil dengan kapasitas tampung yang rendah yaitu hanya 91,38 meter kubik per detik," katanya.
Selain curah hujan, ada faktor lain yang menyebabkan bencana banjir bandang Sentani. Yakni kondisi hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tidak stabil. Ia mengatakan, hulu DAS di Sentani memiliki kontur batuan yang kedap air sehingga membentuk bendung alami yang mudah jebol pada saat hujan tinggi. Adanya perluasan kota dan permukiman di bagian hilir turut memberi dampak cukup signifikan.
Evakuasi Hewan Ternak. Seorang warga mengevakuasi hewan ternak miliknya akibat banjir bandang Sentani di Sentani, Jaya Pura, Papua, Selasa (19/3/2019).
Beberapa lokasi terdampak dari musibah banjir tersebut meliputi Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Abepura, Heram, Sentani dan sekitarnya. Lokasi-lokasi tersebut merupakan dataran banjir atau flood plain dan berada di lereng kaki perbukitan yang terjal.
Luas daerah tangkapan air (DTA) di lokasi tersebut mencapai 15.199,83 hektare. "Luapan air Sungai Sereh/Tahara dan Sungai Kemiri masuk ke DAS Sentani yang berhulu di Cagar Alam Pegunungan Cycloop," ujar dia.
Putera mengakui, faktor tutupan hutan di DAS Sentani terhitung baik dan berkisar 55 persen dari total area DAS. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pohon yang tercabut dari akarnya, serta adanya longsor pada area hulu DTA.
Ia menambahkan, di sekitar banjir bandang tidak ditemukan adanya pembalakan liar. Ini dapat dipastikan karena tidak ditemukan material kayu bekas tebangan yang hanyut terbawa banjir. "Pohon-pohon tersebut masih lengkap dengan ranting dan akar-akarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut bukan hasil kegiatan penebangan kayu yang menyebabkan banjir bandang," kata Putera.
Sementara itu, Cagar Alam Pegunungan Cycloop yang berada di Sentani adalah kawasan suaka alam dengan ciri khas tertentu. Cagar Alam ini mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, sekaligus sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
Pegunungan Cycloop memiliki luas kawasan 31,5 ribu hektare dan terdapat area terbuka seluas 2.415 hektare, bersumber dari peta tutupan lahan 2017. Penyebab adanya area terbuka tersebut antara lain pertanian tradisional, permukiman dan areal tidak berhutan.
Seorang anggota Basarnas mengamati endapan lumpur saat akan melakukan evakuasi jenazah korban banjir bandang Sentani yang di temukan di sekitar perumahan Gajah Mada di Sentani, Jaya Pura, Papua, Selasa (19/3/2019).
Kawasan pegunungan ini memiliki kemiringan lereng yang tajam. Sehingga walaupun kawasan hutannya tidak rusak, curah hujan sangat ekstrem sehingga berdampak besar pada daerah pengembangan yang ada di bawah.
Putera berharap ada role model pengelolaan cagar alam berbasis kearifan lokal. Harmonisasi antara alam dan budaya perlu dijaga dengan baik dengan cara mengajak masyarakat bersama para pemangku kepentingan untuk ikut berperan aktif dalam melestarikan cagar alam tersebut demi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno, perlu dipikirkan tata ruang kawasan permukiman. Terutama bila ada fenomena hujan ekstrem di wilayah Pegunungan Cycloop.
Ia mengatakan, banjir yang terjadi di wilayah itu tidak berdampak pada satwa-satwa yang ada di Cagar Alam Cycloop meski ada kemungkinan tersebut. "Tim Balai Besar KSDA Papua terus melaporkan perkembangan informasi setiap enam jam," ujar Wiratno.