Rabu 20 Mar 2019 05:01 WIB

Wahabi, Hollywood, Fansuri: Gairah dan Benci Mencintai Arab

Jejak benci dan mencinta Arab dari soal Wahabi, Hamzah Fansuri, Hollywood.

Sekuel film Rambo produksi Hollywood. Terlihat Rambo bertempur dengan para thaliban di perang Afghanistan ketika melawan Uni Soviet.
Foto: Wikipedia
Sekuel film Rambo produksi Hollywood. Terlihat Rambo bertempur dengan para thaliban di perang Afghanistan ketika melawan Uni Soviet.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pagi kemarin ada kiriman pesan yang mengagetkan dari  seniman dan pakar kaligrafi KH Didin Sirodjuddin AR. Kiai Didin ini sehari-hari mengurus pesantren kaligrafi yang disebutnya sebagai Pesanren Lemka (Lembaga Kaligrafi) sekaligus mengajar di UIN Ciputat.

Isi pesan itu mengagetkan dan menyentil, yakni ‘Cara Mencintai Arab’. Isinya begini. Dibuka lebih dahulu dengan hadits nabi yang di riwayatkan Imam Thabrani.

CARA MENCINTAI ARAB

(Didin Sirojuddin AR, Lemka)

أحِبُّواالعربَ لِثَلاثٍ لأنّى عربىٌّ، والقرآنَ عربىٌّ، وكلامَ أهلِ الجنّةِ فى الجنّةِ عربىٌّ

       "Cintailah Arab  karena tiga alasan: karena aku orang Arab, karena Al-Qur'an berbahasa Arab, dan karena percakapan  penduduk surga di surga bahasa Arab."

(HR Thabrani dll)

Ya tentu saja, Kiai Didin kemudian mengkaitkan dengan apik dengan contoh langsung pada dunia kaligrafi yang disebut juga salah satu induk dari seni Islam. Ini bisa dilihat misalnya dari berbagai ornamen hiasan yang ada diberbagai masjid di seluruh dunia, terutama masjid yang ada di pusat kebudayaan Islam seperti Mughal (India dan Pakistan), Persia (Iran), Abasyiyah (Irak), Timur Tengah, Afrika Utara (Mesir Maroko dll), atau hingga gaya masa kini model hiasan bangunan masjid yang tersebar di Eropa, Rusia, Balkan, Pecahan Soviet, atau Jepang (masjid yang kemarin dipakai ajang nikah pesohor Syahrini).

photo
KH Didin Siradjudin AR ketika mengajarkan membuat kaligrafi kepada santri di Ponpes Lemka.

Dalam sisi ‘mencintai Arab’ salah satunya, ujar Kiai Didin, berakibat kepada digunakannya kaligrafi sebagai instrumen atau alat komunikasi di dunia untuk percakapan harian dan sebagai bahasa agama melalui Al-Qur'an, dan puncaknya di akhirat sebagai bahasa penghuni surga.  Apalagi Nabi SAW menganjurkan supaya tulisan Alquran itu ditampilkan seindah-indahnya, untuk lebih membuktikan nyatanya seluruh kebenaran yang dijanjikan.

Kiai Didin kemudian menyitir sebuah hadits kembali.

الخط الحسن يزيدالحق وضوحا

       "Kaligrafi yang bagus menambah kebenaran semakin nyata."

Pertanyaannya kemudian ajakan untuk mencintai Arab itu apakah baru muncul hanya sekarang ini melalui Kiai Didin?  Apakah sudah dari zaman dahulu serta apa yang menjadi jejak atau buktinya?

Nah, ketika soal ini ditanyakan pada penyair filsuf dan Guru Besar Kebudayaan Islam, Prof Abdul Hadi WM, dia menyatakan dari dahulu ‘percintaan Arab’ dengan budaya Nusantara (sekarang Indonesia) sudah sangatlah intens. Keduanya bahkan sudah terlibat dalam karegori hubungan yang ‘asyik masyuk’. Ini terjadi mulai dari serapan bahasa, budaya, agama, kemunculan cendikiawan/ulama, dan lain sebagainya. Bahkan, hubungan ‘percintaan’ itu sudah terjadi sejak Islam mulai masuk ke Nusantara. Dan ini pun sesuai dengan tulisan disertasi Prof DR Azyumardi Azra bila jaringan ulama di Nusantara dan Asia Tenggara bertemali dengan induknya yang berada di tanah Arab.

‘’Contohnya kata kafir yang sekarang diributkan itu. Kata itu diserap mulai abad ke 14-15 oleh bahasa Melayu melalui cendikiawan sekaligus sufi besar Hamzah Fansuri. Di Jawa kata Arab yang lain juga banyak sekali diserap. Ini misalnya kata 'habaib' yang pengertiannya di Jawa dahulu bukan hanya untuk orang dari Hadramut tapi seorang cendikia,’’ kata Abdul Hadi.

Abdul Hadi yang melalang buana dan tinggal di Jerman dan Amerika Serikat serta menulis desertasi di Universiti Sains Malaysia mengatakan melalui soal sosok dan karya terjejak fenomena yang tak tanggung-tanggung mengenai serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia. Kala itu sempat tercatat lebih dari 3.000 kata Melayu berasal dari bahasa Arab. Jadi tanpa sadar kosa kata bahasa Indonesia banyak sekali yang identik dengan bahasa dari kawasan yang kala itu berada dalam genggaman kekuasaan Ottoman.’’Kata ‘walau’, ‘miskin’, ‘kursi’ yang akrab kita kenal itu misalnya adalah kosa kata yang  berasal dari bahasa Arab’,’’ tegasnya.

Bila dirunut lagi, contoh kata dari bahasa Arab yang diserap itu misalnya kata: abad, abadi, abah, abdi, adat, adil, amal, aljabar, almanak, makalah, asli, majalah, awal, akhir, adzan. Selain itu juga munafik, mualaf, markas, mistar, malaikat, mahkamah, musibah, mungkar, maut, mimbar, dan lainnya.

photo
Makam Hamzah Fansuri.

Bahkan juga ada kata Arab yang menjadi pokok ajaran serta nilai konstitusi dan Pancasila, seperti daulat, adil, adab, rakyat, hikmah, bijaksana, musyawarah, wakil.

Dan uniknya lagi, kecintaan kepada Arab juga ditunjukan dalam ajang debat wakil presiden yang terjadi pada Ahad malam lalu. Calon wakil presiden dari kubu Joko Widodo, KH Ma’ruf Amin menghamburkan begitu banyak kosa kata Arab baru. Capres yang ulama ini memperkenalkan kembali serapan bahasa Arab kepada publik.

Pada ajang debat tersebut, muncul lagi berbagai istilah dari kosa kata Arab. Malahan ini tampak berulangkali disebut oleh Ma’ruf Amin. Di antaranya adalah kata: sedekah, ziyadah, takmilah , ta'zim, maslahah, tabayun, laa tahzan , laa takhauf. Berbagai istilah yang lazim terdengar di ajang pengajian tiba-tiba muncul di acara penting resmi kenegaraan.

Alhasil, setelah acara debat selesai, pikiran ini melayang, ternyata bila selama ini ada pihak yang bergaya ‘antiArab’ ternyata hanya sok-sokan atau tengah berakting saja. Hal ini misalnya mereka berteriak anti Arab karena sibuk dengan isu soal ancaman paham anti Wahabi, bahkan ujung-ujungnya ditengarai ini tak lebih dari sekedar urusan  'fulus'. Apalagi di Timur Tengah kini ada pertarungan keras dari berbagai macam kekuatan ideologi dan mahzab keagamaan  yang sumbernya terkait soal geopolitik serta persoalan penguasaan sumber daya alam.

Selain itu, bila ditelusuri dari jejak sejarah sikap anti anti Arab yang beririsan dengan gelora menggebu kecamuk isi anti-Wahabi,  baru muncul secara serius dan berkobar-kobar pada waktu belakangan ini. Dengan kata lain belum terlalu lama waktunya, yakni sesudah menara kembar New York dirobohkan oleh Alqaidah yang dipimpin Usamah Bin Laden dari Arab Saudi pada 11 September tahun 2001. Sebelum itu, ketika Wahabi dan Usamah masih berasyik-mesra dengan Amerika Serikat (barat) dalam rangka mengusir dan mencekik pengaruh Komunis Uni Sovyet dari Afghanistan, phobia itu belum muncul dengan membahana. Media barat anteng dan berdiam diri saja.

Contoh nyatanya, lihat saja pada sosok pahlawan Amerika versi Hollywood, Rambo, di awal 1980-an. Tokoh fantasi yang jadi 'hero' semasa Presiden Ronald Reagen itu secara gamblang digambarkan sedang berjuang dengan cara berperang bersama Thaliban di Afghanistan. Nyawa Rambo misalnya diselamatkan oleh para pejuang Thaliban yang sibuk melawan bala tentara dan mesin perang Uni Soviet. Sebelumnya, pada sequel  pertama fim ini, Rambo juga jadi ikon jargon kemenangan Amerika Serikat dalam perang Vietnam, walaupun kenyataannya dia kalah telak karena balatentaranya terusir dari negeri 'Paman Ho Chi Minh itu.

Menyadari semua itu, maka perlu direnungkan kembali sikap soal gairah anti dan mencintai Arab tersebut. Nasihat Grand Syekh Al Azhar waktu berkunjung ke sebuah ormas di Jakarta patut direnungkan kembali. Katanya, ingat ya semua Muslim pasti mencintai Rasul Muhammad SAW lahir-batin. Dan beliau itu adalah orang Arab. Tak hanya itu, semua Muslim pun tahu, Ka'bah sebagai kiblat shalat itu letaknya juga hanya di kawasan Arab.

Lalu bisakah kita memergikan dengan begitu saja pengaruh dan cinta kita kepada Arab? Wallahu’alam.

   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement