Senin 18 Mar 2019 05:01 WIB

Supremasi Putih dan Kisah Negeri Imigran Selandia Baru

Supremasi Kulit Putih, Neo Nazi: Kisah Negeri Imigran Australia dan Selandia Baru

Para pelaut kulit putih Eropa ketika mendatar pertama kali di wilayah Australia.
Foto: Google.com
Para pelaut kulit putih Eropa ketika mendatar pertama kali di wilayah Australia.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Benua Australia (termasuk New Zealand/Selandia Baru) untuk orang kulit putih? Soal ini pernah ditulis dengan apik jurnalis senior, Ratih Hardjono, yakni 'Suku Putihnya Asia: Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya’. Buku itu sangat menarik soal pencarian identitas  sejumlah  orang yang menyebut dirinya sebagai warga negara di dua negara yang tinggal di dekat kutub selatan, yakni Australia dan Selandia Baru. Sentimen warna kulit putih selama ini menjadi dasar anggapan mereka sebagai identitas. Padahal sejatinya, ras kulit putih seperti mereka adalah terdiri para kaum pendatang.

Bukan hanya itu, radio ABC Australia pada dekade akhir 1980-an, yakni saat menjelang perhelatan peringatan sekian ratus sekian ratus tahun kedatangan para  'para imiran putih' Eropa itu, stasiun radio ini pernah menyiarkan serial kisah mereka. Saya ingat betul acara tersebut dibawakan oleh penyiar ABC senior Nuim Khaiyath (lengkapnya: Nuim Mahmud Khaiyath). Dia membawakan dengan pas lengkap dengan lucuan, teriakan, dan celoteh suaranya yang khas.

Hikmah dari siaran itu, Nuim Khaiyath yang kerap menyebut dirinya 'ayam jantan dari Medan', membuat saya paham bahwa orang kulit putih yang menjadi mayoritas dan penguasa di sana adalah orang baru. Dia datang bersama dengan ekspedisi senuah pelayaran yang terjadi pada tahun 1600. Kala itu sebuah kapal Belanda yang berukuran kecil bernama Duyfken yang dinahkodai oleh Willem Janszoon berlayar dari Banten, Indonesia, pergi ke arah selatan kepulauan Maluku untuk mencari wilayah perdagangan baru. Dalam perjalanan itulah, mereka kemudian sampai ke tempat yang kini disebut Australia. Dan pada tahun 1626 mereka juga berhasil sampai sebuah wilayah di sebelah selatannya lagi yang kini disebut dengan nama New Zealand atau Selandia Baru.

Setelah itu, ekspedisi pelaut Belanda lainnya, Abel Tasman yang juga sampai di menemukan Selandia Baru, mereka juga singgah di sebuah wilayah yang kini disebut sebagai kepulauan Tonga dan Fiji. Ini terjadi pada tahun 1642. Dan nantinya, setelah kepemilikan koloni berganti dari Belanda ke Inggris, kala itu juga ada nama pelaut lain yang sangat terkenal, yakni Letnan James Cook. Sejarah sampai hari ini masih menulis bila dialah yang menemukan pantai timur Australia pada tanggal 29 April 1770. Cook sendiri kemudian terbunuh karena congkak oleh penduduk Hawai ketika melanjutkan eskpedisi mengubek-ubek sekujur wilayah Samudra Pasifik.

Celakanya, karena orang Eropa yang kemudian berkuasa menulis sejarah dan punya kekuatan senjata untuk menguasai wilayah itu, termasuk Australia dan Selandia Baru, mereka sampai berani menyatakan bahwa dialah penemu wilayah itu. Mereka dengan pongah mengatakan merekalah yang menemukan tempat itu. Dan mereka ini juga berpolah serta mengklaim diri seolah wilayah itu tak berpenghuni sama sekali.

photo
Orang-orang Maori di Selandia Baru. (Google.com)

Padahal kenyataan yang sebenarnya sangat lain. Di wilayah yang kini disebut sebagai Selandia Baru misalnya, di sana ada penduduk aslinya, Suku Maori. Merekalah yang semenjak dahulu kala menempati tempat itu. Konon kedatangan suku Maori adalah dengan cara mengarungi Samudra Pasifik yang sangat luas. Suku Maori disebut sukuu bangsa yang berasal dari wilayah benua Amerika . Kedatangan mereka ke tempat itu jauh sebelum adanya tahun Masehi.

Begitu juga dengan wilayah yang kini dikenal sebagai Australia. Sebelum orang kulit putih Eropa datang di sana juga sudah dihuni penduduk asli, yakni suku atau bangsa Aborogin. Sama dengan orang Maori, orang Aborigin juga telah tinggal di wilayah itu jauh-jauh hari atau sejak dahulu kala.  Diperkirakan kedua suku bangsa yang masuk rumpun Astronesia ini -- baik orang Maori dan Aborigin-- sudah menetap di sana kira-kira 40.000 tahun sebelumnya. Ini jauh berbeda dengan waktu kedatangan orang   Eropa yang baru di mulai sekitar tahun 1600-an itu.  Mereka juga bukan orang antah berantah karena warga asli di sana yang non kulit putih itu telah mempunya begitu banyak ragam bahasa yang jumlahnya diperkirakan mencapai 250 macam. Ini menandakan mereka pun sudah punya peradaban tersendiri.

Selain itu, sebelum orang kulit putih Eropa datang di wilayah itu, orang Bugis dengan para pelautnya pun sudah terlebih dahulu sampai di tempat itu, tepatnya di utara Australia. Mereka memang tidak menetap, tapi tinggal sementara untuk mencari ikan dan teripang.  Bahkan, kuburan kuna orang Bugis ada di sana. Bugis dan wilayah yang kini disebut Australia memang sudah lama sekali punya hubungan erat.

Jejaknya pun ada sampai sekarang. Coba tanya kepada para keturunan Bugis yang menjadi pelaut dan tinggal di pulau-pulau sebelah utara Australia. Wilayah Australia baginya bukan hal yang asing. Mereka tiap hari mondar-mandir mencari ikan di sana, yakni di perairan yang kini menjadi tapal batas Australia dan Indonesia. Saking dekatnya, lokasi mereka kini juga kerapkali menjadi ajang penyelendupan imigran gelap dari berbagai negara yang akan masuk ke negara itu. Jarak pulau-pulau di sekitar kepulauan Rote dengan daratan Australia, bagi para anak keturunan pelaut Bugis, dianggap  jauhnya hanya 'sepelemparan batu', yakni sangat dekat serta bisa ditempuh dengan perahu nelayan bermoyor sederhana dalam beberapa jam.

Seingat saya, dalam siaran radio ABC itu, Muin Hayat, kemudian menaruh lucuan yang segar yang mencerminkan bila soal jarak antara Indonesoa (kepulauan Maluku/Nusa Tenggara) sangatlah berdekatan. Menurutnya sembari berseloroh, konon ketika para pelaut ‘putih Eropa’ akan ke Australia mereka selalu minta bantuan kepada para pelaut lokal yang ada di sekitar kepulauan Maluku dan Nusatenggara. Mereka bertanya kepada para pelaut tradisional itu mengenai letak wilayah yang mereka sebuat sebagai Australia. Kala itu, para pelaut putih Eropa memang sudah merasa curiga sepertinya para pelaut Bugis merahasiakan lokasi tersebut. Kisah 'plesetan' yang seperti dikatakan Muin Hayat ini saya dapat juga dari seorang tetua adat di Kalabahi, ibu kota kepulauan Alor.

‘’Di mana letak Austraia itu. Kamu tahu?,’’ tanya para pelaut kulit putih yang datang dari Eropa ketika tiba di kepulauan Maluku. Tak hanya itu, konon, para pelaut Eropa kulit putih itu kemudian berusaha mencuri peta jalur pelayaran dari para pelaut lokasi (Bugis) agar bisa sampai di Australia.

Atas pertanyaan itu para pelaut lokal hanya mengeritkan kening. Mereka menjabawab pendek sembari menyahut: “Au beta tara lihat (aduh beta tak liat/tahu).” Maka dari kata Au beta tara liat itulah kemudian menjadi asal mula sebutan Australia, yang kemudian kemudian diklaim oleh orang Eropa menjadi kata yang berasal dari bahasa Latin yang berarti sebuah tempat yang ada di bagian selatan. Kata ‘australis’ dalam bahasa Latin memang berarti selatan.

photo
Penduduk asli Australia, Aborigin. (goto:Google.com)

Nah, berbeda dengan kedatangan manusia dari berbagai etnis itu, kedatangan manusia yang disebut dalam komik kisah kepala suku Indian ‘Waynetu’ sebagai si-muka pucat tersebut, tak berlangsung dengan damai. Mereka ingin menjadikan tempat itu sebagai koloni. Tak cukup mengoloni mereka pun menyingkirkan penduduk asli. Nasib suku Maori dan Aborogin pun kemudian persis dengan suku Indian  yang menjadi penduduk asli benua Amerika. Eksistensi mereka dalam waktu yang cukup lama hanya dianggap sekedar makhluk hidup atau layaknya sosok pajangan yang cocoknya tinggal di sebuah wilayah suaka marga satwa.

Mengapa mereka diberlakukan begitu? Dalam soal ini memang teraba bila pada zaman orang Eropa sibuk berlayar yang  bermula mencari rempah-rempah itu -- kemudian menjelma jadi mencari tanah jajahan--menganggap hanya dirinyalah orang yang punya peradagan tinggi alias moderen. Sikap ini juga akibat pompaan semangat ekspansinya yang bersumber pada slogan, gold, glory, dan gospel sebagai imbas lebih jauh dari perseteruan kecamuk dalam Perang Salib.

Saking kurang ajarnya, kala itu mereka pun membagi dunia hanya dalam dua wilayah atau secara 'seenak udelnya' sendiri. Wilayah belahan dunia sebelah barat didaku sebagai milik Portugis dan sebelah timur  milik Spanyol. Maka efek pembagian dunia model ini kemudian menyengat semanat para pelaut kulit putih Eropa yang lain seperti dari Inggris atau Belanda. Mereka juga bersikap sama-sama naif dengan sibuk mencari negeri dan wilayah taklukan. Semboyannya adalah dunia diberkati Tuhan karena mereka. Untuk itu, bila mereka datang ke wilayah baru atau asing tujuannya adalah untuk memajukan atau memperadabkan penduduk yang ada ditempat tersebut. Penduduk asli eksistensi dianggap tak ada atau hanya dipandang sebagai pihak pengganggu kenyamanan kekuasaan mereka saja.

Dan dari catatan sejarah itu, para imigran Eropa datang wilayah Australia, Selandia Baru, dan berbagai kepulauan di sekitarnya, sebenarnya mulai secara jelas tercatat dilakukan pada tahun 1606. Yang pertama datang ke sana adalah para pelaut asal Belanda. Mereka memang melanjutkan tiba di sana setelah melanjutkan pelayaran dari pusat kolononi VOC yang berada di Batavia (Jakarta).

Nah, ketika wilayah ini jatuh ke tangan kolonial Inggris, pada  akhir abad ke-18, negara pulau yang terpisah dari Eropa tersebut menjadikan wilayah Australia dan Selandia Baru sebagai tempat pembuangan para pelaku kejahatan alias tempat pembuangan para kriminal. Mereka yang suka bikin rusuh hingga melawan eksitensi kerajaan Inggris, sengaja disingkirkan ke wilayah yang berada di belahan paling selatan dunia ini. Maka para penjahat kulit putih tersebut dihukum buang. Mereka dikirim ke wilayah ini dengan dirantai melalui berbagai armada pelayaran. Kala itu tinggal di Australia adalah sebagai hukuman atau siksaan badan.

Tapi pesona muram Australia sontak berubah, ketika di sana ditemukan emas pada pertengahan abad 19. Maka, para imigran Eropa lain, misalnya dari Irlandia, ramai-ramai pergi dan tinggal ditempat itu. Dengan menetap di Australia mereka ingin merubah nasib, persis seperti kisah orang kulit putih Eropa yang pergi ke Amerika Serikat untuk memperbaiki dan berontak atas keputusan sebagai pelaku bid’ah oleh Paus karena mereka memilih menjadi Protestan. Layaknya kelakuan orang Eropa di benua Amerika, mereka pun mengkapling-kapling tanah sesuka hatinya. Mereka tak peduli bila lahan itu sebenarnya sudah ada empunya, yakni para warga asli yang sebelumnya sudah tinggal di wilayah tersebut.

Ahasil, perlahan-lahan wilayah di selatan dunia itu mulai ramai ditinggali orang kulit putih Eropa. Tak cukup hanya tinggal, para imigran Eropa tersebut melakukan pun sibuk pertambangan, peternaan, hingga perkebunan. Pada saat yang bersamaan, para orang kulit putih Eropa pun mulai menganggap penduduk asli yang telah lebih dahulu eksisi, adalah galibnya sebagai ‘hama tanaman’ yang harus diberantas.

Alhasil kemudian munculah berbagai tragedi peperangan dan pembantaian orang Maori dan Aborigin. Pelan tapi pasti wilayah Australia dan Selandia Baru pun menjadi koloni orang kulit putih. Keberadaan mereka semakin eksis ketika negara asal mereka di Eropa (inggris) mengakui status wilayahnya yang merdeka. Akhirnya, hubungan antara tanah koloni di wilayah paling selatan di dunia itu, mendapat status sebagai negara persemakmuran Inggris. Meski begitu, jumlah penduduk mereka sampai sekarang --teritama Selandia Baru-- masih terbilang sedikit. Bahkan kadang jumlah penduduk mereka dianggap lebih sedikit dari jumlah biri-biri yang mereka ternakan.

Memang sekarang orang boleh mengatakan Selandia Baru —termasuk Australia—sebagai tempat teraman sedunia. Bahkan, disebut-sebut sebagai wilayah paling steril atau hygienis. Di kedua negara itu memang  terlihat wajah dari budaya Eropa. Dan bila masih ada ancaman gerakan supremasi kulit putih atau neo Nazi, maka itu juga adalah wajar saja. Ini mengapa? Jawabnya, karena perasaan 'supremasi kulit putih' atas ras manusia yang lain memang akar budaya berasal dari Eropa yang terbawa hingga ke wilayah tersebut. Kedua gerakan ini berkelindan serta eksis bersama maraknya gerakan anti Semit pada era Jerman di bawah kekuasaan diktator Nazi, Adolf Hitler.

Atas segala fakta sejarah itulah kiranya bisa menjadi bekal untuk memaamiketika sekarang ada  teror penembakan jamaah masjid yang brutal di Selandia Baru. Dan khusus untuk keberadaan penduduk asli negara itu, yakni suku Maori, di Selandia Baru masa kini, meski dengan berbagai usaha perbaikan peran, populasi mereka tetap saja masih rendah. Dari sebuah data diketahui bila warga di  Wairoa yang menjadi bagian dari tiga negara bagian di mana banyak orang Maori tinggal, ternyata punya masalah serius. Melalui data 1996 dan 2013, jumlahnya populasi mereka turun hampir seperlima.

Mengutip lama stuff.co.nz, memang ada seorang juru bicara pihak berwenang setempat yang mengatakan penyebab menurunnya populasi suku Maori itu karena faktor sosial-ekonomi, seperti kurangnya lapangan kerja. Alhasil, para pihak yang berwenang di Wairoa pun terus berusaha mencari cara dengan menerima kedatangan berbagai orang dari semua etnis untuk meningkatkan jumlah warganya.

photo
Gaya parade para pengikut ideoloi Nazi atau supremas kulit putih pada era Hitler di Jerman. Ternyata kini masih hidup di berbagai tempat. Termasuk mengilhami pelaku penembakan sadis yang memakan korban meninggal 50 orang jamaah masjid Al Noor di Selandia Baru yang terjadi beberapa hari lalu.

Jadi, tak usahlah heran, gusar, atau bingung bila kini melihat tragedi di masjid Al Noor, di Selandia Baru itu. Jangan juga kaget bila kemudian muncul pembunuhan massal yang dilakukan oleh orang yang tergila-gila pada Neo Nazi atau ide ’white supremacy’ ala orang Eropa tersebut. Sebab, bila membuka kenyataan sejarah semua buruk itu bisa terlihat secara jelas alias kasat mata. Mereka -- termasuk warga kulit putih Australia -- memang masih banyak yang percaya adanya sindrom bahaya ‘kuning dari utara’ (ancaman serbuan imigran dari Asia/non eropa). Ketakutan ini misalnya terlihat di Darwin misalnya. Banyak sumber mengatakan bila radar Australia di sana itu sangat canggih dan berkekuatan besar sehingga mampu mendeteksi semua pergerakan yang ada hingga wilayah di Selat Malaka.

Untuk itu, tak usah sekali lagi, jangan gampang kaget, kagum, bin terheran-heran! Woles saja ya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement