Senin 11 Mar 2019 04:33 WIB

Sejarah Fobia Islam Politik: Klaim Islam Hanya Urusi Ibadah

Soal fobia terhadap Islam politik dan hanya boleh urus soal ibadah sudah dari dahulu.

Perlawanan rakyat Ternate. (Foto koleksi DR Muridan: Sampul buku tentang perjuangan Sultan Nuku)
Foto: istimewa
Perlawanan rakyat Ternate. (Foto koleksi DR Muridan: Sampul buku tentang perjuangan Sultan Nuku)

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Agama apa pun tak bisa berkembang tanpa kekuatan politik (kekuasaan). Ini berlaku di seluruh dunia dan terjadi di semua agama. Untuk penyebaran sebuah agama, ideologi atau isme tak pernah lepas dari pengaruh kekuasaan. Kenyataan ini bisa dilihat dari kurun zaman, baik sebelum adanya sebutan kalender tahun masehi, abad pertengahan, atau pada masa sekarang. Bahkan kekuasaan itu sangat penting, ini misalnya dalam soal pembagian air utuk pertanian melalui apa yang disebut irigasi sehingga bisa disebut bila ada irigasi pertanian maka di sana ada jejak sebuah kekuasaan yang eksis.

Situasi ini memang menjadi bukan hal aneh, bila pada tahun 80-90an, terbit buku yang mengkaji soal berakhirnya ideologi. Uniknya dalam buku itu, ditulis di antaranya ahwa agama dan ideologi sebenarnya sama saja. Bedanya setipis kulit ari, atau layaknya dua sisi keping koin mata uang. Dan yang beda itu adalah bila ideologi adalah agama yang bersifat ‘profan’, sedangkan agama itu sakral alias bukan profan. Dengan kata lain yang lebih mudah, idelogi menawarkan surga di dunia tapi tak menawarkan surga di akhirat. Sedangkan, agama menawarkan surga di dunia mapun akhirat.

Memang tulisan itu terasa ada tendensi sinis kepada segala hal yang berbau agama. Namun ini bukan hal baru. Sejak dulu bapak kaum Marxis, yakni Karl Marx, sudah lebih dahulu melakukannya. Anak orang kaya dan taat agama asal Inggris ini, malah mencurigai agama di masa hidupnya di Eropa pada beberapa abad silam. Katanya, agama layaknya sebagai candu yang meninabobokan. Hal ini pun kemudian dikritik keras oleh cendiawan Muslim yang lahir beberapa abad sesudahnya, M Iqbal, yang mengatakan tugas manusia (muslim) adalah menciptakan agama sebagai kenyataan sehari-hari, surga di dunia dan akhirat. Bukan di salah satu sisi saja.

Di wilayah Hindia Belanda yang dahulu terdiri dari berbagai kerajaan yang sempat hidup dalam penjajahan kolonial Belanda, sikap antipati terhadap agama Islam yang dianut mayortas penghuninya sudah sangat lama muncul.Di sini juga terindikasi adanya benturan dua kekuatan agama, Islam dan Kristen, sebagai kelanjutan 'perang salib'. Bahkan, banyak sejarawan yang menyebut konflik perang salib terimbas sampai kepada soal kedatangan bangsa barat di kepulauan Nusantara pada abad ke 14, misalnya Maluku dan juga di kepulauan di utara Kalimantan yang ditinggali bangsa Moro yang sekarang disebut Filipina. Dalam soal ini ada sejarawan yang menyebut konflik yang ada di wilayah itu sebagai kelanjutan perang salib yang terjadi di belahan Eropa bagian selatan (Spanyol, selatan Prancis, Balkan, hingga Belgia). Para pendatang asal barat mendapat perlawanan karena saat itu di antara penguasa dan penduduk lokal adalah sudah beragama Islam.

Semenjak itu memang ada kesadaran dari pihak kolonial, bila kekuatan yang dianut oleh orang Islam -- yang juga terjadi di Nusantara-- adalah sumber pemompa semangat perlawanan kolonial yang kala itu muncul sebagai orang asing baru dan kaum pendatang. Islam dianggap seteru terberatnya, terutama penghalang dari perluasan gerakan Gold, Glory, dan Gospel.

Sikap kolonial terhadap ini makin tegas ketika ada peran penasihat kolonial dalam soal urusan agama yang dilakukan oleh tokoh legndaris Snouck Hurgronye. Resepnya yang sangat manjur adalah memisahkan agama Islam dari soal politik dan ibadah. Agama Islam didukung dan dibiarkan berkembang bila hanya menyinggung atau mengurus soal ibadah semata. Dan harus dibasmi bila sudah menjadi kekuatan politik. Nasihat Snouck ini misalnya diterapkan untuk menjinakkan 'Perang Aceh' yang berdarah-darah dan merupakan perlawanan yang berlangsung bertahun-tahun.

Selain itu Snouk juga menginginkan bila nanti Hindia Belanda akan menjadi sebuah negara Uni Belanda dengan komposisi agama yang sudah berubah. Di sini pun sejarah mencatat orang Islam melawannya mati-matian. Bahkan orang Islam memilih hidup ‘uzlah’ yakni tidak mau menikmati remah kekuasaan dan mengembangkan serta bertahan di insitusi sosial-pendidikan  tersendiri yakni pesantren atau aneka model pendidikan Islam non klasikal ala barat lainnya.

Terkait soal asal usul Islamphobia tersebut, sejarawan Universitas Indonesia Didik Pradjoko mengatakan, fobia terhadap Islam menyatakan, rasa takut yang berlebihan itu memang terlihat muncul by design. Hal ini karena secara sengaja dibuat karena adanya kepentingan dalam persaingan politik kekuasaan. Dengan kata lain adanya keinginan untuk mengatur kekuasaan atas orang lain.

Menurut Didik, rasa antipati atau fobia terhadap Islam secara sistematis mulai muncul secara kuat pada abad 18 M. Ini terkait dengan ‘perang tanding’ kekuatan kolonial yang berusaha keras melindungi wilayah koloni atau tanah jajahannya.

‘’Namun, tanda Islamphobia, mulai muncul secara lebih leluasa semenjak berakhirnya perang Diponegoro (1930). Hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial karena merasa ketakutan terhadap 'kekuatan Islam' yang besar, yang sewaktu-waktu bisa memicu perang berskala luas,’’ kata Didik Pradjoko.

Kenyataan tersebut, lanjut Didik, ketakutan yang berlebihan atau phobia terhadap Islam itu makin terasa ketika Nusantara kemudian benar-benar secara riil dikuasai Belanda, tepatnya semenjak runtuhnya kejayaan VOC (VOC bubar pada 31 Desember 1799).

“Dengan kata lain, bersamaan dengan berakhirnya Perang Jawa, maka secara sistematis pula dimulailah  berbagai kajian tentang Islam oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Saat itupun sudah mulai ada hipotesis yang mulai baku bahwa bila kekuatan Islam dapat bersatu dengan kekuatan bangsawan lokal, maka ini benar-benar akan memunculkan persoalan serius bagi keberadaan posisi kekuasaan kolonial Belanda.

Khusus dalam soal kajian Snouk Hirgronje, Didik menengarai, sebagai tanda munculnya kesadaran pihak kolonial terhadap dasar kekuatan kaum Muslim, khususnya di Hindia Belanda (Indonesia) kala itu. Sebelum ada sosok Hurgronje, pemikiran dan kajian terhadap Islam di Hindia Belanda belum dilakukan secara sistematis dan mendalam.

''Jadi, dalam hal ini sebelum adanya perang Diponegoro bisa dikatakan belum ada kajian yang serius terhadap Islam di Nusantara. Dan ini pun masuk akal sebab saat itu, meski sudah ada VOC, status pemerintah Belanda di sini belum menjadi sebuah entitas pemerintahan kolonial. Sebab, VOC itu adalah perusahaan dagang dan meski ada politik kekuasaannya, sifatnya belum seperti negara, yakni kolonial Hindia Belanda.

Kajian kolonial terhadap Islam di Nusantara semakin terasa perlu manakala pihak pemerintah kolonial Belanda ingin membuat sebuah pemisahan antara Islam dan Jawa. Dari kajian sejarawan Robert Ricklefs misalnya, saat itu dinyatakan secara jelas bahwa raja Jawa seperti Sunan Pakubowono II itu termasuk seorang raja Jawa yang santri. ''Nah, status seperti santri seperti ini kemudian pada masa berikutnya diteruskan oleh Diponegoro, seorang putra tertua Sultan Hamengku Buwono ke III, yang juga kebetulan sangat santri dan mengobarkan 'perang jihad' itu.''

Menyadari akan besarnya potensi perlawanan penganut Islam ini, maka Belanda kemudian berpikir bagaimana caranya mulai mengatur gejolak itu, terutama agar sampai tidak memunculkan sebuah perang yang besar. Maka keluarlah kebijakan memecah kekuatan ulama dengan bangsawan mulai tahun 1930 atau bersamaan dengan munculnya era tanam paksa. Setelah itu ada nasihat dari Snouck Hurgronje yang dimuai dari kajiannya yang dilakukan mulai tahun 1880-an. Nasihatnya, sangat legendaris, yakni biarkan Islam berkembang asalkan itu hanya berada pada sisi ritual atau ibadah saja, dan segera berangus bila ada kekuatan Islam politik. Mengapa? karena model gerakan Islam seperti ini menjadi ancaman riil bagi pemerintah kolonial!

Tak beda masa Indonesia modern, selain melalui media massa, fobia Islam di masa kolonial itu juga “ditularkan” melalui ceramah hingga desas-desus dari mulut ke mulut. Maka, keluarlah sebutan pejoratif yang lain, seperti “santri gudik” untuk mengolok kehidupan pesantren yang sederhana, hingga menyebarkan cibiran kepada khalayak bahwa mereka yang pergi haji ke Makkah itu tujuannya hanya untuk mencari kekayaan atau membeli tuyul dan jin. Sedangkan, fobia yang secara telanjang muncul di berbagai media massa, misalnya dengan membiarkan berbagai karya sastra yang isinya menghina ajaran Islam.

Pada awal abad ke-20 banyak muncul novel yang selalu menokohkan haji sebagai sosok serakah. Penokohan sinis kepada haji ini kemudian diteruskan oleh sastrawan sosialis kiri, Pramoedya Ananta Toer. Di setiap karyanya, Pramodya hampir tak pernah menampilkan sosok haji yang bercitra positif.

Tak hanya itu, fobia itu muncul dalam berbagai karya satra Jawa. Salah satu di antaranya dan yang paling legendaris adalah kitab Gato Lotjo yang ditertibkan penerbit Than Koen Swie, Kediri. Isi naskah ini dihimpun oleh priyayi Surakarta RM Suwandi. Meski dalam bentuk stensilan, naskah Gato Lotjo sekarang ini masih bisa dibeli bebas.

Penjualnya ada di sebuah kios di bawah pohon beringin yang ada di dekat  Pasar Klewer atau tak jauh dari Masjid Keraton Solo, Jawa Tengah. Buku setebal 43 halaman yang isinya mengolok-olok ajaran Islam ini dijual dengan harga murah, Rp 15 ribu per buah. Buku ini dirasa penting sebab kerap kali jalinan pikiran yang ada dalam buku tersebut  dipakai sebagai lambang “perlawanan” terhadap Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement