Senin 18 Mar 2019 05:15 WIB

Tragedi Christchurch: Kisah Empati Imigran Muslim Norwegia

Pembantaian jamaah Masjid di Christcurch menuai simpati pata imigran Muslim Norwegia

Para imigran Muslim di Norwegia beserta kegiatannya.
Foto: Savitry Icha Khairunnisa
Para imigran Muslim di Norwegia beserta kegiatannya.

Oleh: Savitry Icha Khairunnisa, Imigran Asal Indonesia di Norwegia

Kejadian pilu di Christchurch, meski puluhan ribu kilometer jaraknya, membuat saya jadi semakin memperhatikan keadaan sekitar saat berada di keramaian. 
Kemarin saya merasa, sepertinya lebih banyak orang lokal Norwegia yang tersenyum ramah ke arah kami. Seolah mereka ingin menyampaikan simpati kepada kami sebagai Muslim.

Saya juga menerima pesan pribadi yang sungguh menyejukkan dari seorang kawan baik di sini. Ia mengirimkan kata-kata yang menenangkan hati. Ditambah dengan keyakinannya, bahwa para korban pembantaian itu adalah para syuhada yang berbahagia karena akan segera bertemu dengan Tuhan di surga.


Misalnya, sikap seorang kawan saya itu bukan seorang Muslim. Pemahamannya yang baik tentang konsep mati syahid membuat saya terharu. Mungkin karena ia banyak bergaul dengan para pendatang muslim. Para imigran yang melabuhkan harapan akan masa depan yang lebih baik di negeri jauh bernama Norwegia.

Kami sekeluarga adalah juga imigran. Seperti teman-teman asal Suriah, Palestina, Irak, Pakistan, Afghanistan, Uyghur, Sudan, Somalia, Chechnya, dan banyak lagi.
Meski alasan kami datang ke Negeri Viking ini mungkin berbeda, sebutan bagi kami tetap sama: imigran. Orang Norwegia menyebut kami ini "innvandrere".

Sepuluh tahun jadi warga kota kecil dan tenang seperti Haugesund membuat saya cukup banyak berteman dengan sesama imigran. Saya sampai bisa tahu kalau ada wajah-wajah baru di pusat kota kami. Mereka yang kebanyakan adalah kaum Muslim. Yang secara penampilan langsung terlihat berbeda dari warga asli Norwegia. 
Kota ini, sebagaimana kota-kota lain di Norwegia, memang masih menyambut para imigran dengan tangan terbuka. 
Pusat-pusat pelatihan kerja selalu ramai dengan para imigran yang antusias untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka ini kebanyakan adalah para pekerja keras. Mereka bekerja apa saja mau.

photo
Jejeran makanan halal di sipermarket di Norwegia. (foto: Savitry Icha Khairunnisa).

Hampir semua lapangan pekerjaan dimasuki para imigran ini. Kami termasuk di dalamnya. Mulai pekerjaan kerah biru seperti penjaga toko, pekerja pabrik, tukang bersih-bersih, pemilik toko, supir, sampai guru, perawat, dokter, engineer, hingga politikus. Generasi mudanya pun kebanyakan bisa berbaur dengan orang lokal. Para pendatang ini bisa bersaing dan berkontribusi banyak untuk masyarakat.

Lalu apakah tidak ada orang Norwegia yang anti-imigran? Tentu saja ada. Tapi mereka ini kalah banyak dibandingkan orang Norwegia yang terbuka dan senang menerima para imigran sebagai bagian dari masyarakat Norwegia. 
Di facebook ada beberapa grup yang dibentuk untuk bertukar informasi tentang imigran, kebijakan pemerintah untuk masalah imigrasi, hingga kesempatan untuk membantu para imigran agar mereka merasa disambut dan tenang di tanah air barunya.

Kami sesama imigran juga selalu saling membantu, meski untuk hal-hal kecil. Semalam di jalan kami bertemu dua ibu Somalia yang bertanya lokasi toko milik orang Somalia. Mereka seperti kepayahan mendorong kereta bayi dan tampak bingung karena tak tahu arah. Sepertinya mereka orang baru. 
Meski arah kami tak sejalan, kami memutuskan untuk menemani mereka sampai ke depan toko. Melihat senyum merekah di wajah keduanya, kami juga merasa bahagia.

Sebahagia ketika saya melihat Indomie atau tempe di toko Asia langganan. 
Sebahagia pula ketika ada seorang supir taksi asal Afrika yang tersenyum manis ke arah anak saya, Fatih, sambil mengucap Assalamu'alaykum. Ternyata mereka sering bertemu saat salat Jumat di masjid. Kemarin si orang Afrika itu baru keluar dari masjid. Selesai salat ia kembali ke taksinya. Siap bekerja lagi demi keluarga tercinta.

photo
Suasana shalat Dhuhur di Falah-ul-Muslimeen, salah satu dari tiga masjid kecil di Haugesund, Norwegia. Didirikan oleh pasangan suami istri asal Bangladesh pada tahun 1978. Masjid ini aslinya adalah bangunan berlantai tiga. Imam kami saat ini berasal dari Mesir, dan usianya masih cukup muda. (foto: Savitry Icha Khairunisa).

Deretan wajah dan kisah para syuhada dari Christchurch yang berseliweran beberapa hari ini, membuat saya terenyuh. Meski situasi kami jauh berbeda, saya bisa merasakan kehilangan mereka. Empati sebagai sesama imigran. 
Betapa berat kehilangan kepala keluarga yang selama ini mencari nafkah untuk kelangsungan hidup mereka. Atau kehilangan anak laki-laki yang jadi tumpuan masa depan. Atau para ibu yang memberi rasa hangat, yang mengajari tentang akhlak dan kasih sayang, serta memastikan hidangan lezat selalu tersedia di meja makan.

Kita tak perlu jadi ahli yang sibuk menganalisis masalah imigrasi negara orang lain. Kita hanya perlu jadi manusia untuk bisa memahami rasa kehilangan dan kesedihan. 
Bersyukurlah kita semua yang tak perlu pergi meninggalkan tanah kelahiran yang berkecamuk perang atau kelaparan, lalu mencari perlindungan di negeri yang jauh. Bersyukurlah kita yang bebas pergi ke manapun tanpa rasa takut.

Tetap doakan saudara-saudara kita, para syuhada dan keluarga yang ditinggalkan. Semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua. Amien.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement