Ahad 17 Mar 2019 09:58 WIB

Spanyol, Soviet, Hebron, New Zealand: Darah Sejarah Masjid.

Sepanjang sejarah berbagai masjid telah merasakan luka dan pembunuhan massal

Warga menulis pesan di dekat bunga yang diletakkan di depan Masjid Wellington, Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Sabtu (16/3/2019).
Foto: Antara/Ramadian Bachtiar
Warga menulis pesan di dekat bunga yang diletakkan di depan Masjid Wellington, Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Sabtu (16/3/2019).

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

Sapaan “Hello Brother,” yang diucapkan Daoud Nabi sebelum syahid di tangan Brenton Tarrant di Masjid Al-Noor, Selandia Baru, Jumat (15/3), memasuki relung-relung kesadaran manusia.Bagaimana agama mulia ini begitu Indah. Hangat. Membagi cinta dan kedamaian pada siapa saja. Termasuk orang yang sedang menodongkan senjata padanya.

Dalam berbagai tayangan kita bisa menyaksikan, tempat suci itu terkoyak. Karpet berwarna hijau itu bersimbah merah darah para jamaah yang tentu saja gugur sebagai syuhada.

Namun, tragedi di Masjid Al-Noor, Selandia Baru seperti hanya 'de javu' (pengulangan) saja. Ini misalnya, kasus ini persis dengan pembantaian di Masjid Ibrahimi Al Khalil (Hebron), 25 tahun lalu. Peristiwa seperempat abad itu belumlah memudar dari ingatan.

photo
Masjid Ibrahimi Al Khalil, Hebron. (Foto:TripAdvisor.com)

Kala itu, pada sebuah Subuh yang dingin, 15 Ramadhan 1414 H bertepatan dengan 25 Februari 1994, seorang Yahudi  bernama Baruch Kappel Goldstein datang dari arah Kiryat Arbaa. Dia datang melewati penjagaan tentara yang menjaga wilayah dan masjid itu. Baruch tiba dengan menenteng senjata. Setelah di dalam masjid, dia melontarkan rentetan tembakan. Maka terjadilah pembunuhan massa dalam masjid. Aksi sadis ini terjadi saat jamaah sedang sujud di rakaat terakhir. Di bulan Suci Ramadhan.

Empat puluh orang jamaah syahid, ratusan terluka.

Dan kini, meski terpisah jarak ribuan kilometer serta waktu yang terentang 25 tahun darah para jamaah masjid di Selandia Baru kembali tertumpah. Kejadiannya pun sama dengan tragedi di Hebron, yakni di masjid di rumah-Nya yang suci. Memang tak dilakuan dalam bulan Ramadhan, tapi di hari Jumat yang penuh berkah.

Dalam banyak perjalanan yang saya lakukan, saya pun telah menyaksikan berbagai jejak masjid yang yang harus merasakan luka kelam sejarah. Ini seperti Masjid Ibrahimi Al Khalil (Hebron)di Palestina tersebut. Lalu, sempat melihat Masjid Agung Cordoba di Spanyol yang sekarang menjadi Katedral Mezquita. Nama Mezquita, yang berarti masjid, menegaskan bahwa bangunan ini dulunya adalah masjid.

photo
Bekas Masjid Agung di Cordoba Spanyol, 'Mezquita'. (foto: Spaininfo)

Mezquita ini menjadi saksi bisu adanya peristiwa 'inkuisisi' sewaktu berkecamuknya Perang Salib. Ketika pasukan Islam terusir dari Spanyol, pihak penguasa mengatakan hanya ada dua pilihan bagi umat Islam dan Yahudi yang tinggal di Spanyol, yakni tinggal tetap tinggal dan menjadi warga negara Spanyol dengan menanggalkan agamanya, atau pergi dari Spanyol sebagai orang usiran bila tidak bersedia. Bagi yang tertangkap karena tetap tinggal di Spanyol dengan tidak mengkonversi agama lama (Islam atau Yahudi), maka akan dihukum.

Dalam laman Wikipedia disebut, inkusisi di Spanyol itu merupakan institusi pengadilan gereja yang didirikan oleh pasangan Monarki Katolik Raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella dari Kastilia. Kebijakan penguasa ini bertujuan untuk memelihara ortodoksi Katolik di Spanyol, dan mengadili perkara-perkara aliran sesat pasca Reconquista (penaklukan Iberia oleh kerajaan Kristen dari Muslim Moor).

Dan memang, pada awalnya, Spanyol sebelum adanya Inkusisi itu para penguasa Muslim menjadikan negaranya menjadi masyarakat beragama yang relatif damai. Namun setelah berganti kekuasaan, selanjutnya terjadi kekerasan anti-Islam dan anti-Yahudi, sehingga banyak umat Islam dan Yahudi terpaksa pindah agama menjadi Katolik atau melarikan diri. Mendiang cendikiawan DR Nurcholish Madjid mengatakan pada masa itu sang penguasa Muslim menjadikan tiga agama --Yahudi, Kristen, dan Islam -- menjadi porosnya. Tak ada pemaksaan agama di kala itu meski dikuasai Muslim selama berabab-abad.

Kisah yang sama pun terjadi dengan Masjid Bolo Haouz di Bukhara, Uzbekistan, yang juga saya pernah kunjungi. Nasib masjid ini merana setelah komunisme meraja. Selama era Uni Soviet, masjid ini difungsikan sebagai rumah biliar. Mihrab tempat imam memimpin shalat digunakan sebagai bar untuk menyimpan minuman keras khas Rusia, Vodka.

photo
Masjid Bolo Haouz di Bukhara, Uzbekistan.

Tak beda dengan di Spanyol dulu. selama era Soviet, semua simbol-simbol agama dihancurkan atau dialihfungsikan. Tak ada penduduk yang boleh menjalankan ritual agama. Mereka yang ketahuan shalat atau puasa Ramadhan akan disiksa dan tak sedikit yang menemui ajal saat mempertahankan tauhid-Nya.

Padahal sebaliknya, sejarah juga telah mencatat, masjid-masjid yang berserak di bumi Allah ini pernah memberikan rasa aman dan perlindungan pada siapa saja yang memasukinya. Ini seperti pernah terjadi di 'Grande Mosquée de' Paris atau Masjid Agung Paris.Masjdi ini pernah memberikan perlindungan bagi 1.600 orang Yahudi yang diburu Nazi saat Perang Dunia II

Peristiwa itu terjadi saat Grande Mosquée de Paris dipimpin oleh Si Kaddour Banghabrit, seorang Muslim yang berasal dari keluarga terkemuka di Andalusia. Tak hanya rasa aman yang diberikan, namun ia juga menolong orang-orang Yahudi itu agar bisa ke luar dari kota Paris dengan selamat.

Teladan itu pun pernah dicontohkan Manusia Mulia Rasulullah SAW saat Fatuh Makkah. “…. Semua yang berada di dalam Masjidil Haram aman….”

Dan begitupun saat sang pahlawan muda, Muhammad Al Fatih, saat memasuki Aya Sofya yang kemudian dibersihkan dan difungsikan sebagai masjid. Katanya kala itu dikecamuk suasana perang Al Fatih menyeru:“…. Semua yang berada dalam Aya Sofya aman...”

Di India darah di masjid juga pernah tertumpah. Pada 6 December 1992 terjadi pengeboman Masjid Babri. Pelakunya dipicu oleh rusuh yang dilakukan para oknum kaum Hindu nasionalis yang mendaku bahwa lokasi itu dahulu kala adalah bekas kuil Rama ketika menjadi raja Ayodhya. Sebanyak 2.000 orang terbunuh, sebagian besar adalah Muslim. Saat itu ketegangan sempat muncul. Politikus dan ketua Partai BJP Bharatiya Janata Party (BJP) India, Narendra Modi, tuding sebagai salah satu biangnya. Bahkan Amerika Serikat sempat menolak kedatangan Modi ketika hendak ke sana. Namn ini kemudian tak terjadi setelah Modi berhasil jadi perdana menteri negara itu.

photo
Reruntuhan masjid Babri yang dibangun pada abad ke-16. Masjid ini dibakar habis oleh ekstremis Hindu tahun 1992.

Maka, ketika saya menerima banyak sekali DM dan inbox terkait tragedi Masjid Al-Noor, Selandia Baru. Berbagai seruan dan ucapan muncul, dari bela sungkawa sampai yang emosional. Salah satu contoh pesan yang sarat emosi adalah, “.... Sebagai jurnalis Muslim tulislah pelaku terorisme itu adalah kafir barat, Cina, Myanmar dan lainnya. Sebagai bukti pembelaan kita. Sebagai wujud belasungkawa. Tulislah Mbak...”

Saya tak akan dan tak bisa mencaci. Saya hanya akan menuliskannya dengan memberikan bukti: Masjid adalah tempat suci yang memberikan rasa aman dan membagikan hangat cahaya-Nya pada siapa saja. Seperti sapaan, “Hello Brother,” yang diucapkan Daoud Nabi ketika menyapa orang yang akan menembaki jamaah masjid An Noor di Selandia Baru itu.

Maka di keheningan pagi ini, semerbak wangi darah para syuhada Masjid Al-Noor, Selandia Baru, seolah tercium saat saya menuliskan tulisan ini…

Allahumma ‘a-izzal islama wal muslimina


Allahummanshur ikhwananal musliminal mujahidina

Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum Muslimin 


Ya Allah, tolonglah kaum Muslimin dan para Mujahidin

Jakarta, 15/3/2019

 

Follow me on IG @uttiek.herlambang

Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement