Kamis 14 Mar 2019 19:47 WIB

Imunitas terhadap Hoaks Harus Ditingkatkan

Usaha mengatasi persoalan ini dikembalikan kepada masing-masing individu.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
 Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Intensitas kehadiran berita bohong semakin tinggi menjelang pemilihan umum. Karenanya, imunitas atau daya tahan masyarakat terhadap hoaks itu sendiri mau tidak mau harus ditingkatkan.

Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim mengatakan, usaha mengatasi persoalan ini dikembalikan kepada masing-masing individu. Artinya, harus ada usaha mencerdaskan diri sendiri.

"Hoaks tidak menjadi sesuatu yang berbahaya selama kita tidak mengizinkan hal itu mengganggu pikiran kita," kata Gaffar dalam sarasehan kebangsaan Mengelola Kabar Bohong dan Distorsi Informasi dalam Politik Elektoral di Fisipol, Rabu (13/3).

Pembahasan isu ini berangkat dari riset yang dilakukan Research PolGov di Jawa Barat dan Maluku. Utamanya, ketika ditemukan peredaran hoaks yang semakin mengkhawatirkan dari segi luasan dan sifatnya.

Baik yang mencakup jalur-jalur daring seperti media sosial, media pesan, dan jalur-jalur relasi langsung seperti pertemuan masyarakat. Gaffar berpendapat, untuk meningkatkan imunitas salah satu yang bisa dilakukan membatasi informasi.

Batasan yang dimaksud informasi yang diterima hanya melalui sumber-sumber yang kredibel. Selain itu, ia menekankan, pentingnya ruang yang mempertemukan warga dengan pandangan yang berbeda agar saling berdiskusi dan mengonfirmasi isu-isu.

"Kalau kita ada di dalam grup hanya pendukung Jokowi, pasti hoaks yang beredar seputar Prabowo, begitu juga sebaliknya, tapi kalau ada dari kedua kubu, kalau ada hoaks yang beredar bisa saling mengonfirmasi," ujar Gaffar.

Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho menuturkan, mereka mencatat ada 997 hoaks yang beredar sepanjang 2018. Hampir separuh di antaranya berkaitan isu politik, sosial dan SARA.

Selain berpotensi merusak kerukunan bangsa, ia merasa, peredaran hoaks dan distorsi informasi membahayakan proses demokrasi dalam pemilihan umum. Sebab, akan mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu yang penting.

"Di media sosial orang lebih banyak berurusan dengan isu yang remeh-temeh, isu yang penting justru jarang sekali muncul," kata Septiaji.

Pengamat sosial politik, Iqbal Aji Daryono menekankan, perang melawan hoaks itu bukan perang antara orang pintar dan orang bodoh. Perang melawan hoaks justru perang antara masyarakat sipil melawan industri.

Ia melihat, setidaknya ada tiga pihak yang diuntungkan dari persebaran hoaks mulai media massa, media sosial, dan politisi. Selain itu, hoaks tidak lepas dari kepentingan para politisi.

"Mereka butuh itu untuk konsolidasi internal, membangun musuh bersama dan satu lagi yang teman-teman mungkin tidak sadar yaitu untuk efisiensi pembiayaan politik," ujar Iqbal.

Iqbal menambahkan, karena salah satu tantangan di dalam perlawanan kabar bohong terletak ke isu literasi, peran melawan hoaks tidak bisa diselesaikan instan. Karenanya, perlawanan perlu usaha taktis yang hasilnya baru akan dilihat masa mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement