REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden RI Jusuf Kalla meyakini kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pemilu baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih tinggi. JK menilai, berdasarkan pengalaman dan pengamatannya selama ini, masyarakat Indonesia telah mempraktikkan proses demokrasi.
Kendati demikian, ia mengatakan, ada mekanisme sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) bagi pihak yang tidak puas dengan hasil pemilihan umum (pemilu). "Ya sudah paling (kalau ada protes) bawa ke MK. Jadi apapun waktu kampanye seakan-akan ramai, tapi setelah pemilu, kita pahami bahwa masyarakat Indonesia sudah meyakini dan mempraktekan demokrasi secara lebih baik," kata JK saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (12/3).
Karena itu, ia tidak mempersoalkan terkait adanya pihak yang tidak mempercayai integritas KPU sebagaimana hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). "Bahwa sekarang ada pihak yang tak senang dan senang saya kira biasa saja. Tak senang itu tergantung masing-masing pihak," ujar JK.
Begitu pun jika dalam penyelenggaraannya, penyelenggara Pemilu dinilai bermasalah, sudah ada mekanisme penanganannnya. "Di atasnya kan masih ada Bawaslu dan ada badan kehormatan. Kalau tak puas ya tinggal bawa ke Dewan Kehormatan," kata JK.
"Artinya kalau menang ya menang, kalah ya kalah. Selama hampir 20 tahun, saya kira nggak ada masalah," kata JK.
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei terbaru mereka evaluasi publik nasional terkait dukungan calon presiden dan integritas penyelenggara pemilu. Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, mengungkapkan, dari survei terhadap 1.426 responden temuan mayoritas publik memercayai integritas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu dalam menyelenggarakan pemilihan presiden.
"Jauh lebih banyak yang menilai KPU mampu menyelenggarakan pemilu sesuai undang-undang yang berlaku," kata Deni di Kantor SMRC Jakarta, Ahad (10/3).
Deni menuturkan dalam surveinya, pertanyaannya adalah, 'Apakah responden yakin KPU mampu menyelenggarakan pemilu sesuai aturan undang-undang?'. Hasilnya, 13 persen responden menyatakan sangat yakin.
Kemudian, 66 persen menyatakan cukup yakin. Ada 11 persen yang menyatakan kurang yakin, dan satu persen yang tidak yakin. Kemudian, ada sembilan persen yang menyatakan tidak tahu dan tidak menjawab.
Kemudian pertanyaan kedua ditanyakan 'Apakah responden yakin KPU dapat menyelenggarakan pilpres sesuai aturan?'. Hasilnya, 80 persen responden menyatakan sangat yakin. Hanya 11 persen yang menyatakan kurang atau tidak yakin. Kemudian, sembilan persen menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab.
Dari temuan tersebut, ada 11 persen hingga 13 persen. Secara khusus yang menilai KPU tidak netral sebanyak 13 persen. Sebnayak 13 persen dari total pemilih 190 jutaan atau sekitar 25 juta.
Jumlah ini sangat besar untuk mempersulit KPU dan Bawaslu bila dimobilisasi. "Yang riskan adalah kotak suara dari kardus. Pemilih terbelah antara yang yakin dan tidak yakin bahwa kotak suara itu bisa menjadi sumber kecurangan," kata Deni.