Kamis 07 Mar 2019 16:35 WIB

Pemerintah tak Sreg Soal Kebijakan Plastik Berbayar

Plastik berbayar belum menjawab tantangan soal kerusakan lingkungan.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah toko ritel belum serempak menerapkan plastik berbayar seperti yang diinstruksikan Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) per hari ini, Jakarta, Jumat (1/3).
Foto: Republika/Imas Damayanti
Sejumlah toko ritel belum serempak menerapkan plastik berbayar seperti yang diinstruksikan Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) per hari ini, Jakarta, Jumat (1/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih belum sekata dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) terkait kebijakan kantong plastik tidak gratis (KPTG) alias plastik berbayar. Dari kacamata pemerintah, upaya pengurangan penggunaan plastik lebih berupa penyediaan kantong nonplastik dan meningkatkan daur ulang plastik.

Hal ini berbeda dengan kebijakan yang berlaku sejak awal Maret 2019, yakni penyediaan kantong plastik berbayar di sejumlah ritel besar.

Baca Juga

"Itu harus hati-hati. Kalau konsepnya adalah plastik berbayar, berarti plastiknya boleh. Asalkan bayar. Padahal konsepnya adalah kami minta kita jangan bebankan lingkungan (dengan plastik)," jelas Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Istana Negara, Rabu (6/3).

Konsep yang diberlakukan Aprindo melalui plastik berbayar, menurut Siti, belum menjawab tantangan yang dihadapi berupa ancaman kerusakan lingkungan akibat masifnya penggunaan plastik. Siti pun menepis adanya aturan resmi darinya tentang penggunaan kantong plastik berbayar. Menurutnya, aturan yang sempat terbit adalah Surat Edaran Dirjen KLHK tahun 2016 tentang penerapan kantong plastik tidak gratis. Itu pun, kata Siti, hanya uji coba.

"Kalau konsepnya plastik berbayar, kita ngutip uang konsumen, bebannya diberikan ke konsumen. Jadi meleset. Ini yang saya minta kepada Dirjen agar segera dibahas dengan Aprindo, mekanisme yang pas seperti apa," kata Siti.

Meski begitu, KLHK mengakui ada penurunan penggunaan plastik antara 30-60 persen di ritel-ritel besar. Namun di lingkup masyarakat yang lebih luas, termasuk pasar tradisional, penggunaan plastik masih cukup tinggi.

Hal ini membuat Siti merasa kebijakan plastik berbayar belum cukup menjawab tantangan soal penggunaan plastik di Indonesia. Pemerintah, kata Siti, masih mencari solusi paling tepat untuk menjawab tantangan ini. Termasuk salah satu opsinya adalah menyiapkan kantong nonplastik.

"Yang benar itu kalau kurangi sampah plastik itu pertama kurangi sampahnya, sesedikit mungkin pakainya, jadi caranya di Aprindo bukan plastiknya disuruh bayar, tapi siapkan bentuk yang lain, ini belum dipastikan, tapi saya minta Dirjen untuk urus," kata Siti.

Upaya untuk mengatasi limbah plastik juga dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kementerian tersebut sedang menggodok penggunaan limbah plastik untuk pengaspalan jalan. Selain Kementerian PUPR, Kemenko Maritim juga sedang menggodok mekanisme teknis pengurangan penggunaan plastik, termasuk penerapan di ritel-ritel dan pasar tradisional.

Senada dengan Menteri LHK, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan bahwa arah pemerintah dalam menekan penggunaan plastik adalah daur ulang. Namun soal mekanismenya, pihaknya masih membahas hal ini bersama pengusaha.

"Kami masih ingin lihat apakah ini efektif banget atau bagaimana. Kami lebih mau ke daur ulang," katanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), masyarakat Indonesia mengkonsumsi 5,6 juta ton plastik setiap tahun yang mana sebanyak 1,67 ton merupakan plastik impor dan 2,3 juta tonnya merupakan plastik produksi dalam negeri.

Dari jumlah tersebut, sekitar 1,7 juta ton menjadi sampah plastik, 1,5 juta ton tertangani, sementara 200 ribu ton per tahun tidak tertangani sama sekali.

Sementara itu berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah di Indonesia berkisar 65 juta ton per tahun. Sebanyak 15 persen (9,7 juta ton) merupakan sampah plastik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement