Rabu 06 Mar 2019 04:00 WIB

'Dua Ratus Rupiah Doang Mah Murah'

Terkadang kita 'dipaksa' memakai plastik oleh penjual.

Friska Yolandha
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*

Suatu pagi yang gerimis, rasanya nikmat jika menyeruput kopi ditemani tempe goreng panas. Tapi apa daya, saat melihat perbekalan di dapur, tepung serbaguna yang biasa dipakai meracik tempe pun habis.

Akhirnya, saya belanja ke minimarket yang tak jauh dari rumah. Niatnya ingin beli tepung serbaguna saja, faktanya, keranjang belanja penuh dengan barang lainnya.

"Maaf kak, sekarang kantong plastiknya Rp 200 per lembar, nggak apa-apa?" ujar petugas kasir saat akan menghitung belanjaan saya.

Waduh, saya lupa, per Jumat (1/3) kemarin, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengumumkan pemberlakuan kantong plastik berbayar pada seluruh anggotanya. Minimarket yang saya datangi pun tak luput dari aturan itu.

Biasanya, saya selalu menyelipkan kantong belanja di jok sepeda motor. Hari ini, saya lupa membawanya karena sudah terpakai saat belanja sebelumnya.

"Ya sudah mas, saya pakai kantong plastik saja," kata saya. Barang-barang sebanyak itu tidak akan muat di jok sepeda motor.

"Dua ratus perak doang mah murah," celetuk pembeli yang antre di belakang saya.

Iya juga, kalau hanya dua ratus rupiah, orang tak akan ragu untuk membayar. Apalagi, sebagian besar masyarakat Indonesia masuk kelas menengah yang mungkin mengeluarkan Rp 200 untuk satu kantong plastik tidak perlu pakai mikir.

Ingatan saya berlari ke semester II tahun 2009 silam. Kala itu saya diberi kesempatan kuliah singkat di sebuah kota kecil di Jerman. Pada hari pertama di sana, saya kalap melihat produk-produk yang tak ada di Indonesia dan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan produk serupa di supermarket Indonesia. Akhirnya, keranjang belanja saya penuh dengan makanan-makanan bule itu.

Saat antre di kasir, petugas boro-boro menawarkan kantong plastik. Petugas hanya memindai produk yang di beli, lalu si pembeli sendiri yang mengemas produk yang mereka beli, bisa langsung masuk tas atau kantong belanja, atau masuk lagi ke keranjang belanja untuk ditata di sudut toko. Keranjang belanja/troli yang dipakai disimpan sendiri ke tempat di mana mereka mengambilnya.

Toko kelontong Jerman itu menawarkan kantong plastik yang dipajang di depan kasir, tapi tidak gratis. Untuk kantong plastik besar dihargai sekitar 19 sen euro. Saat itu satu euro setara Rp 15 ribu.

Tak mau rugi beli kantong plastik, saya memilah lagi produk-produk yang ingin saya beli mengingat keterbatasan ruang di dalam tas. Saya kembalikan produk yang tak jadi dibeli, lalu membayar ke kasir. Barang-barang yang tak muat masuk tas saya tenteng. Malu? Awalnya iya, tapi melihat banyak yang seperti itu, akhirnya cuek saja.

Harga satu kantong plastik Rp 200 itu memang terlalu murah. Orang tak akan mikir kalau mengeluarkan uang segitu untuk selembar plastik. Pak ogah di puteran balik saja mintanya minimal Rp 500, kadang malah dilempar balik kalau cuma memberi segitu.

Saya yakin, Aprindo ingin memberlakukan plastik berbayar secara perlahan. Menurut saya, cara ini nanggung dan tidak akan memberikan efek signifikan. Negara ini sudah darurat plastik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), masyarakat Indonesia mengkonsumsi 5,6 juta ton plastik setiap tahun. Sebanyak 1,67 ton merupakan plastik impor dan 2,3 juta tonnya merupakan plastik produksi dalam negeri. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,7 juta ton menjadi sampah plastik. Sebanyak 1,5 juta ton tertangani sementara 200 ribu ton per tahun tidak tertangani sama sekali.

Sementara itu berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah di Indonesia berkisar 65 juta ton per tahun. Sebanyak 15 persen (9,7 juta ton) merupakan sampah plastik.

Dengan jumlah yang berjuta-juta ini, apakah kita masih tega memproduksi dan menimbun lebih banyak plastik? Apalagi, sebagian besar dari plastik itu hanya sekali pakai lalu akhirnya dibuang.

Pemerintah sejak tahun lalu sudah menggaungkan penerapan cukai plastik. Aturan ini menimbulkan polemik karena akan mematikan industri plastik. Seharusnya, cukai plastik ini memantik inovasi industri untuk menciptakan plastik ramah lingkungan. Apalagi, kini banyak anak muda dalam negeri yang mengembangkan plastik ramah lingkungan yang terbuat dari bahan organik.

Di Bali, seorang pemuda berhasil menciptakan kantong plastik dari singkong, bahan makanan yang 'berserakan' di negeri ini. Produksinya sudah dipakai di sejumlah daerah dan telah mendapat respons di luar negeri. Harganya memang lebih mahal, tapi jika industri mau mengelolanya, mungkin harganya bisa lebih murah karena produksi massal.

Menyadarkan masyarakat akan bahaya plastik tidaklah mudah, terutama masyarakat Indonesia dengan pendidikan yang majemuk. Dari kecil, tak pernah kita diajarkan meminimalkan penggunaan plastik.

Terkadang kita 'dipaksa' memakai plastik. Belanja di tukang sayur, sayurannya sudah dipilah-pilah dalam plastik. Beli bumbu dapur halus, sudah dimasukkan ke dalam plastik per sekian ons. Beli ikan, pakai plastik. Bahkan ada penjual yang menolak menerima mangkok belanja dengan alasan 'susah menimbangnya'.

Sebagai salah satu negara ber-flower, untuk membiasakan sesuatu di Indonesia harus dipaksakan. Upaya Aprindo harus diapresiasi, tapi baiknya kita harus 'dipaksa' tak pakai kantong plastik dengan harga yang tinggi.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement