Rabu 06 Mar 2019 01:14 WIB

Masyarakat Sipil Kembali Ajukan Uji Materi UU Pemilu

Ada lima pihak yang disebut berpotensi kehilangan hak pilih.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Hasanul Rizqa
Mantan Wakil Menkum HAM, Denny Indrayana (tengah) bersama Penelitii utama NETGRIT, Hadar Nafis Gumay (ketiga kanan) dan Direktur PERLUDEM, Titi Anggraini (ketiga kiri) dan sejumlah aktivis Pemilu membentangkan spanduk usai mendaftarkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama yang terkait dengan syarat prosedur administratif di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Mantan Wakil Menkum HAM, Denny Indrayana (tengah) bersama Penelitii utama NETGRIT, Hadar Nafis Gumay (ketiga kanan) dan Direktur PERLUDEM, Titi Anggraini (ketiga kiri) dan sejumlah aktivis Pemilu membentangkan spanduk usai mendaftarkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama yang terkait dengan syarat prosedur administratif di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak melakukan uji materi terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi ini dinilai perlu untuk menyelamatkan hak suara pada pemilih dalam Pemilu 2019.

Kuasa hukum pemohon, Denny Indrayana, mengatakan, uji materi tersebut diajukan oleh tujuh pihak pemohon. Mereka adalah Perludem; Hadar Nafis Gumay dari NetGrit; Direktur Pusako Universitas Andalas Fery Amsari; warga binaan Augus Hendy dan A Murogi Bin Sabar; serta karyawan swasta Muhamad Nurul Huda dan Sutrisno.

Baca Juga

“Kami sudah mendaftarkan permohonan uji konstitusionalitas untuk UU Pemilu. Permohonan ini tujuan utamanya adalah menyelamatkan suara rakyat pemilih,” ujar Denny Indrayana usai mendaftarkan uji materi di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (5/3).

Denny lantas menyebutkan sejumlah pihak yang berpotensi kehilangan hak pilihnya pada pemilu tahun ini. Pertama, pemilih yang tidak mempunyai KTP-el.

Sebagai informasi, dalam pasal 348 ayat (9) UU Pemilu diharuskan bahwa pemilih mempunyai KTP-el agar bisa menggunakan hak pilihnya. Para pemohon uji materi tersebut mendorong KTP-el supaya bisa diganti dengan surat keterangan (suket), KTP biasa, atau dokumen kependudukan lainnya.

“Saya konfirmasi ke Dirjen Dukcapil, walaupun beliau sudah berusaha bekerja, lebih kurang ada empat juta warga yang belum punyai KTP-el. Termasuk di dalam kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan lapas dan rutan dan beberapa pemilih lainnya yang tidak mempunyai akses yang cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP-el,” tutur Denny.

Kedua, pemilih yang pindah lokasi memilih sehingga berpotensi kehilangan hak pilihnya dalam Pemilu legislatif (pileg). Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu menyebutkan, jika pemilih pindah provinsi dalam memilih, maka yang bersangkutan hanya mendapatkan surat suara pilpres dan tidak bisa memilih calon legislatif di semua tingkatan.

Ketiga, lanjut Denny, pemilih yang masuk dalam kategori daftar pemilih tambahan (DPTb) yang baru melakukan pindah memilih dalam jangka waktu 30 hari menjelang hari pemungutan suara, 17 April 2019. Sementara, Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu mengatur, pendaftaran DPTb hanya dapat dilakukan paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara.

“Misalnya yang pindah itu ada batas waktu terdaftarnya di DPT tambahan, 30 hari paling lambat. Itu orang kalau mendadak, karena alasan kerja, alasan bencana, lewat dia (pemilihnya). Kita baru tahu tiga hari sebelumnya, 17 April. Tahun 2014, tiga hari bisa, sekarang diperpanjang 30 hari, jadi orang bisa kehilangan suara,” jelas Denny.

Keempat,  pemilih dengan kondisi atau kebutuhan khusus tertentu juga berpotensi kehilangan hak suaranya. Denny mencontohkan, pemilih yang berada di lapas atau rutan yang tidak mempunyai TPS khusus.

Maka dari itu, dua orang warga binaan termasuk di antara para pemohon uji materi tersebut. Denny mengungkapkan, keduanya merupakan warga binaan di Lapas Tangerang serta belum mempunyai KTP elektronik dan belum terdaftar di DPT Pemilu 2019.

Kelima, terkait penghitungan suara. Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu dianggap belum mengakomodasi solusi hukum, terutama jika penghitungan suara tidak selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara.

“Teknis terkait penghitungan yang harus selesai pada hari yang sama pada saat pemungutan suara. Kita beri solusi boleh diselesaikan satu hari berikutnya supaya tidak menimbulkan masalah legalitas keabsahan pemilu kita. Semuanya sebenarnya, permohonan ini dibingkai sekali lagi untuk menyelamatkan potensi hilangnya suara pemilih yang jumlahnya jutaan,” tutur dia.

Dengan kata lain,  para pemohon mengajukan uji materi pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu. Pasal-pasal ini dinilai menghambat dan berpotensi menghilangkan hak pemilih dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement