REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan telah berupaya memberantasan narkoba di Indonesia. BNN sudah melakukan dua upaya, yakni mengurangi dari sisi suplai (supply reduction) dan permintaan (demand reduction).
Kepala Bagian Humas BNN Komisaris Besar Sulistyo Pudjo mengatakan, supply reduction merupakan upaya dengan cara menangkap para bandar narkoba dalam jaringan yang besar. "Jadi, kami tangkapi bandar-bandar besar, baik yang sebelum masuk perairan maupun udara Indonesia," katanya kepada Republika saat dihubungi, Senin (4/3) malam.
Ia mengatakan upaya ini tentu saja bekerja sama dengan semua pihak terkait untuk menangkap para bandar maupun pengedar narkoba. Pihak terkait itu, ia mencontohkan, misalnya, Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla), Direktorat Jenderal Bea dan Cuka Kementerian Keuangan, dan sebagainya.
Sementara untuk pengurangan dari sisi penawraan atau demand reduction merupakan upaya BNN bersama seluruh instansi pemerintahan untuk mengimbau dan menggerakan penurunan serta pencegahan penggunaan narkoba. Upaya pencegahan itu dengan cara membentuk Desa Bersinar (Bersih dari Narkoba) terhadap desa-desa yang dianggap rawan narkoba.
Ia menyebutkan, ada sekitar 654 desa yang dianggap rawan narkoba di Indonesia. Untuk tahun ini, Pudjo mengatakan, ada 64 desa lain yang ditargetkan menjadi Desa Bersinar. "Dulu kalau di Jakarta mungkin ada di Jalan Jaksa, atau wilayah Kampung Bali," ucapnya.
Ia menyebut, melalui Desa Bersinar itu, BNN memberikan solusi seperti memberikan mata pencaharian baru yang halal. "Makanya BNN tidak bisa bekerja sendiri. Karena yang memiliki sumber daya itu ada di pemerintah daerah, pemerintah provinsi, pemerintah pusat, BUMN, swasta, hotel-hotel, dan sekitarnya tentu saja memiliki sumber daya untuk mampu memberikan kontribusi terhadap upaya pemberantasan narkoba," paparnya.
Pudjo menambahkan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia dan BNN, persentase pengguna narkoba di Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduk atau prevalensinya sebesar 2,2 persen dari jumlah penduduk saat itu. Sedangkan pada 2017 terjadi penurunan, yakni menjadi 1,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 256 juta jiwa.