Senin 04 Mar 2019 20:08 WIB

BPPT Kekurangan Pesawat untuk Padamkan Kebakaran Hutan

Sumatra paling rawan terjadi kebakaran hutan.

Personel TNI AU mengecek sejumlah tabung sebelum melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) di pesawat CN-292 milik TNI AU sebelum diberangkatkan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Personel TNI AU mengecek sejumlah tabung sebelum melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) di pesawat CN-292 milik TNI AU sebelum diberangkatkan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) atau hujan buatan terkendala minimnya jumlah pesawat. Hujan buatan untuk membantu penanganan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Hammam mengakui armada pesawat untuk penyemai garam dalam operasi ini jumlahnya sangat terbatas. Jika ada karhutla di Sumatra dan di Kalimantan, maka akan sulit merancang hujan buatan secara serentak.

Sumatra paling rawan terjadi karhutla yang merugikan masyarakat dan juga pelaku usaha. Tahun ini terjadi fenomena El Nino yang tidak bisa dianggap remeh karena potensi karhutla bisa lebih tinggi dibandingkan tiga tahun terakhir.

"Semoga dengan dukungan BNPB yang semakin erat ini, kami dapat dibantu untuk pengadaan armada pesawat hujan buatan," kata Hammam Riza pada peluncuran operasi TMC untuk Riau di Lanud Roesmin Nurjadin, Senin (4/3).

Lebih lanjut Kepala BPPT menyampaikan, operasi TMC ini sebenarnya dapat dilakukan lebih masif untuk dilaksanakan di beberapa wilayah Indonesia yang berpotensi besar terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Strategi pelaksanaan hujan buatan ini diusulkan Kepala BPPT, dapat juga difokuskan untuk membasahi (re-wetting) lahan gambut yang dinilai mempunyai tingkat kekeringan yang sudah perlu diwaspadai. "Jadi, ya, kita tahu, mencegah lebih baik. Jika hujan buatan ini dilakukan di lahan gambut, maka kelembaban tanah pada area lahan gambut akan tetap terjaga, sehingga potensi terjadinya kebakaran di area lahan gambut juga semakin berkurang," katanya.

Karena itu, operasi TMC perlu dilakukan di daerah rawan kebakaran di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Karena itu, ia mengapresiasi inisiatif Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk antisipasi Karhutla sejak dini karena pengalaman bencana asap 2015, kebakaran laham gambut sulit dipadamkan dan menghasilkan polusi asap yang menimbulkan banyak kerugian.

photo
Personil TNI AU melakukan pengecekan pesawat CN-292 milik TNI AU, sebelum diberangkatkan dari Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta untuk melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

Operasi TMC menggunakan satu pesawat Cassa 212 TNI AU. Pesawat ini bisa mengangkut garam hingga 800 kilogram sekali terbang. Operasi TMC ini membantu Satgas darat dan udara, yang hingga kini berjibaku melakukan pemadaman Karhutla.

Tahap awal operasi TMC berlangsung selama bulan Februari sampai Maret. Sejak Februari sudah sekitar lima ton garam yang digunakan untuk menyemai awan di Bengkalis dan Dumai.

Untuk tahap selanjutnya akan fokus di Pelalawan dan Meranti. Ia mengatakan, pantauan satelit Terra/Aqua dan SNPP sejak 1 Januari hingga 27 Februari 2019 menunjukan total titik panas (hotspot) dengan tingkat kepercayaan di atas 80 persen di Riau jumlahnya mencapai sebanyak 293 titik.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, luas Karhutla sudah lebih dari 1.300 hektare di Riau. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, puncak musim kemarau di Riau diprakirakan terjadi pada Juli sampai Agustus.

Di Riau musim kemarau tidak terjadi serentak. Di daerah pesisir sudah terjadi pada awal Juni sedangkan di daratan 10 hari kemudian.

"Artinya apa, itu (kemarau) tidak seragam akan berpengaruh pada pola sebaran hotspot Ia menambahkan dampak El Nino pada tahun ini lemah, jadi kemarau tak separah 2015. "Meski El Nino lemah, kita tidak boleh lengah," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement