REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, I Gede Suratha, menyebutkan, harus ada dasar hukum untuk mengubah desain KTP-el untuk warga negara asing (WNA). Hal tersebut pun ia sebut harus dikaji secara mendalam agar dampaknya positif, bukan negatif.
"Pasti harus ada dasar hukumnya. Tidak bisa kita serta-merta mau mengubah itu, tidak bisa. Jadi harus dilandasi dengan produk-produk hukum yang melandasi," ujar Gede usai diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/2).
Dalam membentuk produk hukum itu, kata dia, harus benar-benar dikaji secara mendalam. Dengan begitu, bisa dibuat produk hukum yang sesuai dan berdampak luas dengan positif bagi kepentingan bangsa dan negara.
"Sehingga dampak daripada kebijakan itu tidak berdampak yang lebih luas justru negatif gitu. Jadi kita inginkan semua ini dampaknya positif. Semua untuk kepentingan bangsa dan negara," jelas dia.
Ia menerangkan, pembahasan mengenai pembedaan KTP-el bagi WNA dengan warga negara Indonesia sudah menjadi pembahasan sejak lama. Tapi, pasti pembahasannya akan memakan waktu yang tahunan. Ia memberikan contoh kasus, soal pembedaan warna.
"Kalau bilang warna yang satunya merah, nanti ada yang bilang kenapa gak kuning sih? Kenapa gak biru sih? Kenapa gak putih? Seperti itu kan. Ini saja bisa membutuhkan waktu yang tahunan masalah warna saja," kata dia.
Ia juga mengatakan, pemberian KTP-el terhadap WNA tak boleh berhenti. Menurutnya, saat ini hanya pencetakannya saja yang ditunda hingga Pemilu 2019 dilaksanakan.
"Kita rencananya mencetaknya tanggal 18 (April). Sehingga suhu ini bisa sedikit turun kan. Tapi sekali lagi pelayanan pemberian KTP-el bagi orang asing itu tidak ada perubahan kebijakan," ungkap Gede.
Menurutnya, pelayanan pembuatan KTP-el terhadap WNA tidak boleh berhenti. Itu karena sudah menjadi perintah undang-undang (UU) dan pemerintah harus tetap melaksanakannya.