Sabtu 02 Mar 2019 06:20 WIB

Penjelasan AHY Soal Rekomendasinya kepada Presiden Terpilih

AHY menilai 100 juta orang miskin Indonesia harus jadi perhatian presiden terpilih.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Indira Rezkisari
Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sedikitnya, ada tiga hal yang direkomendasikan Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, dalam pidato politiknya di Djakarta Theater, Jumat (1/3). Tiga hal itu adalah tantangan Indonesia dalam lima tahun ke depan, persoalan dan asriprasi rakyat, serta keadilan hukum.

Ia mengaku optimistis dalam memandang masa depan Indonesia lima tahun ke depan. Namun, optimisme saja tidak cukup.

Baca Juga

"Dinamika hubungan antar negara yang diwarnai kerjasama, kompetisi, konfrontasi, masalah sumber daya alam yang makin menipis, perubahan iklim, jumlah penduduk dunia yang makin besar, serta perkembangan teknologi yang sangat cepat, adalah hal yang harus diperhatikan," kata dia dalam pidato politiknya.

Ia mengakui, pertumbuhan ekonomi Indonesia telah di atas lima persen. Namun, pertumbuhan ekonomi harus juga merata dan berkelanjutan, sehingga dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan sekaligus mengurangi kemiskinan. Namun, menurut dia, saat ini sekitar 100 juta masyarakat Indonesia merupakan kategori miskin dan kurang mampu.

Selain itu, tantangan utama adalah memaksimalkan bonus demografi, penduduk berusia produktif. Menurut dia, jika tak memiliki kapasitas yang mumpuni, angkatan kerja muda justru akan menjadi bencana.

"Pendidikan menjadi kuncinya, baik pendidikan formal, informal maupun yang bersifat vokasional atau pelatihan keterampilan kerja," kata dia.

Ia melanjutkan, pemerintah perlu mencermati kebutuhan energi dan pangan yang semakin meningkat. Di bidang energi, pemerintah harus mampu menyusun strategi untuk mencapai target energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025. Pasalnya, hal itu merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam memenuhi Paris Agreement.

Sementara di bidang pangan, kata AHY, pemerintah harus mengurangi ketergantungan impor pangan. "Kita juga harus mencari solusi atas tren penurunan lahan pertanian dan berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian. Diperlukan pula, pengembangan teknologi dan tata kelola pertanian agar produksi dan produktivitas makin meningkat, tanpa merusak lingkungan," kata dia.

Pada isu kedua, AHY menjelaskan, selama dua tahun terakhir Partai Demokrat aktif berkeliling Nusantara, untuk menyerap aspirasi masyarakat. Beberapa persoalan utama, yang sering disampaikan kepada kami antara lain soal melemahnya daya beli masyarakat, baik di pulau Jawa maupun di luar Jawa, perkotaan maupun di pedesaan.

Selain itu, ia juga menyinggung persoalan lapangan kerja. "Masyarakat, khususnya anak-anak muda cemas, tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak, sesuai dengan kompetensi mereka," kata dia.

AHY merekomendasikan kepada Presiden mendatang, untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi nasional hingga mencapai angka 6 persen atau lebih, serta menciptakan iklim dunia  yang kondusif. Salah satu caranya adalah dengan melonggarkan pajak.

Menurut dia, dunia usaha yang maju akan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak lagi. Selain itu, daya beli masyarakat juga harus kita perkuat melalui peningkatan gaji pegawai, termasuk guru, TNI dan Polri, serta pensiunan.

Khusus untuk membantu masyarakat miskin dan kurang mampu, ia menambahkan, Presiden mendatang disarankan untuk menjalankan kebijakan dan program khusus. Ia menyarankan, program-program pro-rakyat era SBY dapat dilanjutkan dan ditingkatkan.

"Program itu di antaranya PKH, Raskin, BLSM, BPJS, BOS, Bidik Misi, LPDP, Beasiswa Santri, KUR dan PNPM, serta penyaluran subsidi secara tepat sasaran, seperti subsidi BBM, listrik dan pupuk," kata dia.

Terakhir, AHY juga mengomentari mengenai keadilan hukum. Selama ini, menangkap kegelisahan masyarakat terkait penegakan hukum yang di sana sini terkesan tebang pilih atau tajam ke bawah tumpul ke atas.

Ia merekomendasikan kepada Presiden mendatang untuk menjamin tegaknya nilai-nilai keadilan bagi seluruh warga negara. Menurut dia, penegakan hukum tidak boleh menjadi instrumen politik terhadap mereka yang beroposisi.

Ia menegaskan, oposisi dalam berpolitik adalah koalisi dalam membangun bangsa. Karena itu, tidak boleh ada yang merasa takut untuk berbicara, termasuk dalam menyampaikan kritik dan gagasannya.

"Yang terpenting, kebebasan berekspresi harus tetap berada di dalam koridor hukum, serta etika dan norma berdemokrasi. Bukan fitnah, hoaks, ujaran kebencian, atau pembunuhan karakter," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement