REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia akan sepakat mendukung perlindungan lapisan ozon dengan mengatur pengurangan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) berupa Hydroflorokarbon (HFC) yang merupakan bahan pengganti Hydrochlorofluorocarbon (HCFC). Keputusan ini disampaikan melalui ratifikasi Amandemen Kigali yang merupakan penyempurnaan Protokol Montreal oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Persiapan ini dilakukan dengan sosialisasi dan diskusi bersama pelaku sektor industri yang dibungkus dalam Workshop on HFC Enabling Activities di Jakarta, Kamis (28/2). Salah satu poin yang dibahas adalah persiapan inventarisasi penggunaan bahan HFC di Indonesia dan persiapan pengaturan tata niaga impor HFC. Termasuk di antaranya pengaturan lisensi impor dan HS Code HFC, serta penetapan baseline konsumsi HFC di Indonesia pada tahun 2020, 2021 dan 2022.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, kesuksesan Protokol Montreal dalam menurunkan konsumsi BPO telah tecapai secara signifikan. Termasuk, kontribusi Indonesia yang telah menurunkan konsumsi BPO, terutama jenis HCFC dari tahun 2013 sampai 2018 sebesar 124,36 ODP (Ozone Depleting Substances) ton.
Menurut Ruandha hal tersebut dapat dicapai dengan menggunakan bahan alternatif yang lebih ramah ozon dan juga ramah terhadap perubahan iklim. "Bahan tersebut dikenal dengan sebutan BROCCOLI (bebas bromin, chlorin dan pro-climate)," katanya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (28/2).
Ruandha menambahkan, penggunaan HFC di Indonesia sebagai pengganti HCFC merupakan upaya mendukung Protokol Montreal dalam menghambat perusakan ozon. Tapi, setelah Amandemen Kigali menyepakati bahwa HFC juga termasuk BPO, Indonesia akan mengikutinya dengan melalui proses bertahap.
Hingga saat ini, Panel Teknologi dan Ekonomi (TEAP) Protokol Montreal terus berupaya melakukan penelitian terkait bahan BROCCOLI dan insentif bagi negara-negara berkembang. Pada tahun 2024, diharapkan negara berkembang sudah mulai menurunkan konsumsi HFC dalam berkontribusi menjaga temperatur bumi tidak meningkat lebih dari 1,5 derajat Celcius pada tahun 2100 dibanding dengan masa pra-industri.
Target penghapusan tersebut dapat dicapai dengan adanya alih teknologi pada sektor industri manufaktur maupun servicing. Pelaksanaan alih teknologi tersebut dipandang perlu mempertimbangkan bahan pengganti HFC yang memiliki harga yang kompetitif dan tersedia secara luas di pasaran.
Ruandha menilai, Kementerian Perindustrian sebagai pembina sektor industri perlu memfasilitasi industri dalam mencari teknologi pengganti HFC. Tujuannya, agar produk yang dihasilkan industri tersebut tetap kompetitif dan memiliki daya saing. "Tapi, dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan keselamatan," ujarnya.
Disamping itu, pemerintah juga perlu menetapkan kebijakan dan regulasi seperti peraturan tentang tata niaga dan impor HFC untuk mengendalikan HFC yang masuk ke Indonesia. Peningkatan kapasitas untuk semua element terkait juga akan dilakukan dalam rangka mengendalikan konsumsi HFC ini.