Jumat 01 Mar 2019 04:39 WIB

Benarkah Ada Deislamisasi di Kamp Vokasi di Xinjiang?

Mereka direkomendasikan masuk kamp vokasi bukan karena melakukan tindak kekerasan

Rep: Fuji Eka Permana, Bayu Hermawan/ Red: Karta Raharja Ucu
Kepala Kamp Pendidikan Vokasi Etnis Uighur Kota Kashgar,  Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, Mijiti Meimeit (kanan) memandu wartawan yang berkunjung, Jumat (3/1).
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Kepala Kamp Pendidikan Vokasi Etnis Uighur Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, Mijiti Meimeit (kanan) memandu wartawan yang berkunjung, Jumat (3/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama ormas-ormas Islam memenuhi undangan Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) untuk melihat kamp-kamp vokasi di Xinjiang. Hasil kunjungan itu, MUI meminta RRC mengembalikan hak Muslim Uighur melaksanakan ibadah di kamp-kamp vokasi.

Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI KH Muhyiddin Junaidi mengatakan, ormas-ormas Islam yang tergabung di MUI telah melihat, mendengar, dan berdiskusi di kamp- kamp vokasi di Xinjiang sejak awal pekan lalu hingga Ahad (24/2). "Pertama, berterima kasih kepada pengundang, dengan kunjungan tersebut kita bisa mendapatkan informasi lebih komprehensif tentang apa yang terjadi di sana," kata KH Muhyiddin saat berbincang dengan wartawan Republika, Bayu Hermawan yang ikut dalam rombongan mengunjungi kamp-kamp vokasi di Xinjiang, Senin (25/2).

Baca Juga

Ia menceritakan, lokasi yang diduga sebagai kamp reedukasi konsentrasi sebetulnya tempat pelatihan kerja atau vokasi. Namun, berdasarkan temuan MUI saat berkunjung ke Xinjiang, seseorang bisa dinilai radikal apabila mengamalkan ajaran Islam sehari-hari, seperti melaksanakan shalat, membaca Alquran, dan melakukan zikir di sela-sela jam kerja dan belajar.

Maka itu, MUI meminta dan berharap agar Pemerintah RRC memberikan kesempatan kepada peserta vokasi untuk melaksanakan ibadah setelah mereka selesai melakukan pelatihan setiap hari. KH Muhyiddin memahami, adalah konstitusi RRC memandang agama sebagai persoalan individu.

"Maka kami minta agar Pemerintah RRC mengikutsertakan China Islamic Association (CIA) dalam mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan umat Islam," ujarnya.

Ia menegaskan, MUI tidak mau ikut campur persoalan RRC memerangi radikalisme dan separatisme. Namun, kebijakan untuk memerangi gerakan-gerakan itu harus dilakukan secara berhati-hati.

"Kami khawatir yang terjadi bukan deradikalisasi, tapi deislamisasi. Itu yang kami khawatir," ujarnya dalam kesempatan terpisah selepas kunjungan.

photo
Ketua MUI bidang hubungan luar negeri Muhidin Junaidi dan Gubernur Xinjiang Shorat Zakir

Selepas kunjungan, KH Muhyiddin juga menyatakan, dalam sisi tertentu pelarangan beribadah justru bisa mengonfirmasi pelanggaran HAM di Xinjiang. "Jadi kita berharap Peme rintah Tiongkok berikanlah kebebasan kepada mereka untuk menjalankan ibadah setiap hari," kata dia.

KH Muhyiddin menyampaikan, hasil kunjungan MUI bersama ormas-ormas Islam ke Xinjiang akan diberikan ke internal MUI. Setelah itu, akan dilaporkan ke Pemerintah Indonesia.

Ketua PP Muhammadiyah, Prof Syafiq Abdul Mughni yang juga menyertai rombongan mengatakan, ukuran radikalisme di Uighur masih dipertanyakan. "Kita mengharapkan tidak menyebut atau melabeli radikal terhadap orang yang taat melaksanakan ajaran agama," kata Prof Syafiq kepada Republika.

Sejumlah peserta yang diwawancarai Republika memang menuturkan, mereka direkomendasikan masuk kamp vokasi bukan karena melakukan tindak kekerasan. Ada yang hanya karena ketat mengonsumsi produk halal, ada juga sekadar karena menengok video dakwah di telepon genggam.

Ketua Pengurus Harian PBNU KH Robikin Emhas mengatakan, PBNU berterima kasih diberi akses bersilaturahim dengan berbagai pihak di Xinjiang. Ia mengatakan, selama kunjungan di kamp vokasi tidak menemukan penyiksaan seperti diberitakan beberapa media asing. Ia juga mengapresiasi komitmen antiradikalisme melalui lembaga vokasi di Xinjiang.

Namun, KH Robikin menegaskan, tanpa bermaksud mencampuri urusan dalam negeri RRC, PBNU sangat berharap jaminan konstitusi kebebasan beragama dijalankan. "Islam, Kristen, Protestan, Buddha, dan Taoisme tidak memiliki kesempatan menjalankan ibadahnya ketika di tempat tertentu, termasuk di lokasi vokasi. Kami sangat berharap regulasi yang ada memberikan ruang bagi mereka untuk menjalankan ibadah," ujarnya. PBNU juga sangat berharap Pemerintah RRC bisa mengajak duduk bersama organisasi-organisasi keagamaan guna merumuskan parameter radikal yang substansi rumusannya sejalan dengan prinsip-prinsip HAM.

photo
Kegiatan Shalat di Masjid JiamaiN Hotan, Xinjiang, Cina

Sedangkan, Gubernur wilayah Otonomi Xinjiang Uighur Shorat Zakir mengklaim, pusat vokasi yang didirikan di wilayah yang dipimpinnya untuk menyejahterakan rakyat Xinjiang dan melawan radikalisme serta terorisme sesuai dengan konstitusi yang berlaku di RRC. "Jika ada pelaku yang ikut terorisme, tapi dalam taraf ringan, kami berusaha menyelamatkan mereka. Di sekolah (pusat vokasi), kami selalu transparan dan terbuka," ucapnya kepada rombongan dari Indonesia, akhir pekan lalu.

Shorat Zakir juga membantah tudingan bahwa pusat vokasi melakukan cuci otak terhadap umat Islam di Xinjiang seperti yang ramai diberitakan. Ia menekankan, Pemerintah RRC tidak peduli dengan pendapat dunia luar terhadap pusat vokasi karena tujuan pemerintah adalah untuk menyejahterakan rakyatnya.

"Ada orang-orang yang melancarkan syak wasangka terhadap RRC, yang membuat situasi panas. Kami tidak khawatir karena kami ingin menyejahterakan rakyat kami dan membuat dunia lebih baik," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement