Rabu 27 Feb 2019 14:47 WIB

Komnas HAM Sayangkan Bila Rusuh 98 Cuma Jadi Polemik Pilpres

Komnas HAM menyarankan Wiranto dan Kivlan berbicara dalam konteks penegakan hukum.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (tengah).
Foto: Republika/Prayogi
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menyayangkan bila perdebatan antara Wiranto dan Kivlan Zein terkait kerusuhan Mei 1998 hanya menjadi bagian dari narasi politik pada momentum pilpres. Komnas HAM mendorong keduanya berani bersaksi dalam konteks penegakan hukum.

"Daripada debat tanpa ujung dan tawaran mekanisme hanya bersifat jargon semata," ujar Komisioner Komnas HAM Muhammad Choirul Anam, Rabu (27/2).

Baca Juga

Anam menegaskan, perdebatan Wiranto dan Kivlan Zen mengenai apa yang terjadi pada 1998, baik terkait kasus Mei '98 ataupun Trisakti Semanggi I dan II, siapa yang bertanggung jawab, lebih baik diletakkan dalam narasi penegakan hukum. Pasalnya, kasus tersebut juga telah dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM yang berat oleh Komnas HAM, dan berkas perkaranya sudah ada di Jaksa Agung sejak beberapa tahun yang lalu.

"Ada mekanisme yang dapat dijalani oleh keduanya. Pertama, bisa langsung menemui Jaksa Agung dan meminta untuk memberikan keterangan kesaksian atau memberikan keterangan tertulis dan dikirim kan kepada Jaksa Agung," kata Choirul.

Mekanisme lain yang dapat dijalani adalah, Jaksa Agung dapat memanggil kedua tokoh tersebut untuk memberikan keterangan, guna melengkapi berkas kasus yang telah dikirimkan oleh Komnas HAM. Menurut Choirul, langkah ini merupakan terobosan hukum untuk memastikan keadilan bagi korban dan hak atas kebenaran bagi  publik luas.

Jika Jaksa Agung enggan melakukan pemanggilan untuk periksaan kedua tokoh tersebut, lanjut Choirul, Jaksa Agung dapat menerbitkan surat perintah penyidikan kepada Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan. Kedua jalan di atas dinilai Komnas HAM merupakan jalan terbaik bagi penegakan hukum terkait pelanggaran HAM yang terjadi di kerusuhan 1998.

"Bisa juga serta merta memberikan keterangan kepada Komnas HAM, walau pada akhirnya keterangan tersebut tetap akan  dikirimkan kepada Jaksa Agung sebagai penyidik pelanggran HAM yang berat," kata Choirul, menambahkan.

Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang juga mendorong agal dilakukan penegakkan hukum untuk perkara ini. "Di sinilah tantangan bagi Wiranto betul tidak, dia bisa menegakkan hukum yang melanggar hukum gitu, kalau betul ya nggak apa-apa memang itu kewajibannya," kata Oesman, Rabu (27/2).

Oesman pun berharap, bila benar penegakkan hukum dilakukan nantinya dilakukan agar tidak terjadi ketidakadilan. "Jangan sampai ada pilih kasih ada semacam rekayasa ada yang hukum yang harus ditindak ada yang hukum yang tidak perlu ditindak, tentu ini tidak bisa. Jadi menkopolkam harus tegas bahwa pelanggaran hukum harus ditindak," ujar Oesman.

Sebelumnya, dalam sebuah acara di Jakarta Selatan, Kivlan menuding Wiranto bertanggung jawab atas Kerusuhan 1998. Pada tahun itu, Wiranto merupakan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Wiranto yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM lantas langsung membantah tudingan Kivlan. Lebih jauh, Wiranto menantang Kivlan untuk buka-bukaan, hingga sumpah pocong.

"Saya berani, katakanlah berani untuk sumpah pocong saja. 1998 itu yang menjadi bagian dari kerusuhan itu saya, Prabowo, Kivlan Zein. Sumpah pocong kita, siapa yang sebenarnya dalang kerusuhan? Biar terdengar di masyarakat, biar jelas, jangan asal menuduh saja," ucap Wiranto di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (26/2).

Wiranto menegaskan pernyataan Kivlan Zein tersebut merupakan tudingan hoaks. Sebab, dia mengatakan, tidak ada fakta yang menyebut keterlibatan dirinya dalam kerusuhan 1998.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement