Selasa 26 Feb 2019 20:34 WIB

MUI Minta Cina Berikan Uighur Kelonggaran untuk Beribadah

Ketua MUI berharap pemerintah Cina berikan kelonggaran untuk Muslim Uighur beribadah.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Bayu Hermawan
Ketua MUI bidang hubungan luar negeri Muhidin Junaidi dan Gubernur Xinjiang Shorat Zakir
Foto: Republika/Bayu Hermawan
Ketua MUI bidang hubungan luar negeri Muhidin Junaidi dan Gubernur Xinjiang Shorat Zakir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin Junaedi mengatakan, berdasarkan hasil kunjungan delegasi MUI ke Xinjiang, Cina, pada pekan lalu, dirinya melihat adanya kesenjangan yang dialami suku Uighur. Namun, ia menilai bahwa ini bukan bentuk diskriminasi, melainkan disebabkan kurangnya kualitas SDM suku Uighur sendiri.

"Karena Uighur ini Muslim dan kebanyakan dari mereka mungkin masih sakit hati dan mengganggap kalau Cina adalah penjajah dan sebagainya, makanya mereka (Uighur) tidak mempelajari bahasa nasional Tiongkok (Mandarin)," jelas Muhyiddin saat ditemui Republika.co.id di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Selasa (26/2).

Menurutnya, sejak dianeksasi oleh Cina pada 1949, gerakan separatisme, ekstremisme, dan radikalisme memang sedikit banyak dilakukan oleh Uighur. Pemberontakan dan penolakan memperlajari bahasa nasional Republik Rakyat Tiongkok (RRT) membuat suku Uighur tidak memahami hukum dan regulasi negara. Pendidikan yang tertinggal juga menjadi alasan ketertinggalan Uighur dibandingkan suku Hans yang merupakan suku mayoritas di Cina.

"Karena tidak bisa bersaing dan komunikasi yang tersumbat, maka terjadilah kesalahpahaman. Dan karena dianggap tidak sejalan dengan konstitusi Cina, maka mereka dimasukkan ke kamp-kamp pendidikan atau ke balai latihan kerja," jelas Muhyiddin.

Namun, selama dilatih, dalam kurun waktu enam hingga sepuluh bulan, para Muslim Uighur tidak diperbolehkan melakukan shalat. Dikarenakan, kamp tersebut merupakan ruang publik yang tidak boleh terkontaminasi dengan aspek keagamaan. Solusi yang diberikan pemerintah Cina, kata Muhyiddin, adalah mengizinkan para peserta kamp untuk pulang sepekan sekali untuk melunasi hak beragamanya.

"Jadi, kalau ada yang ingin shlat maka dia harus ke masjid atau rumah. Maka, mereka hanya bisa shalat ketika pulang ke rumah, pada Sabtu dan Ahad," jelas Muhyiddin.

"Ini yang menimbulkan persepsi yang aneh karena ketika mereka bekerja atau berada di pusat pelatihan maka mereka tidak bisa shalat dan hanya saat mereka di rumah saja," katanya melanjutkan.

Bukan hanya di kamp pelatihan, sekolah-sekolah khusus Muslim dan masjid juga dibatasi penggunaannya. Meski terdapat sekitar 24 ribu masjid di Uighur, hanya dapat digunakan oleh warga yang tidak bekerja, seperti orang-orang tua atau pensiunan. Sementara, orang yang masih bekerja, dilarang melakukan ibadah di masjid saat jam-jam kerja.

"Maka, jarang ditemui anak-anak muda di masjid karena mereka kerja dan tidak boleh leluasa pergi ke masjid. Suara azan juga tidak boleh keluar dari masjid karena di luar itu adalah ruang publik," ujar Muhyiddin.

MUI, kata dia, berharap pemerintah Cina dapat memberikan kesempatan bagi Muslim, baik di kamp pelatihan maupun mereka yang bekerja, untuk dapat menjalankan ritual sebagai makhluk beragama karena hak ini termasuk dalam hak asasi manusia yang telah diakui secara internasional. Adapun tindak lanjut MUI dapat menyikapi keterbatasan beragama di Cina adalah membentuk tim untuk menyampaikan saran kepada Kedutaan Besar Cina edan Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia.

"Itulah yang kita harapkan. Meskipun, memang sampai saat ini kami belum sampaikan langsung kesana dan baru melalui media," ujar Muhyiddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement