REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Abhan, memberikan komentar terhadap penghentian kasus pidana pemilu yang menjerat Ketua PA 212, Slamet Ma'arif. Menurut Abhan, semestinya kepolisian dan kejaksaan mempertimbangkan sejumlah hal sebelum memutuskan untuk melanjutkan atau memberhentikan suatu kasus pidana pemilu.
Abhan menjelaskan, yang perlu dipahami semua pihak yakni mekanisme pelangggaran pidana pemilu bukan hanya otoritas mutlak dari Bawaslu. Bawaslu bertugas menyajikan data temuan, atau data laporan kemudian mengumpulkan alat bukti dan fakta.
"Selanjutnya pada pembahasan di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) ada berbagai tahap tahap, yakni tahap pertama hingga ketiga. Penentuannya ada di tahap ketiga, di mana Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan sepakat ada unsur dugaan tindak pidana pemilu," ujar Abhan kepada wartawan di Kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (26/2).
Jika ketiga lembaga yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu itu sudah sepakat, maka artinya kasusnya diproses ke tahap penyidikan. Dalam konteks kasus Slamet Ma'arif, penyidik kepolisian sudah menentukan tersangka yakni Slamet sendiri.
Jika demikian, penyidik semestinya tidak lantas menyatakan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). "Dalam pemahaman kami, yang ideal itu ketika suatu kasus sudah dibahas sejak awal oleh tiga lembaga, mestinya tidak ada unsur kemudian balik SP3. Kalau sudah tahu lemah jangan lanjut, kalau tahu kuat ayo lanjut," tegas Abhan.
Dia lantas mencontohkan, bahwa ada kasus-kasus pidana pemilu lainnya yang dihentikan. Namun, kondisinya berbeda dengan kasus Slamet Ma'arif.
"Bukan karena tersangka tidak hadir, tetapi lebih kepada tidak memenuhi unsur pidana pemilu," tuturnya.
Terkait Slamet yang tidak pernah hadir di pemeriksaan kepolisian, Abhan menilai hal itu semestinya tidak jadi soal bagi polisi. Sebab, dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, ada asas in absentia.
"Pada in absentia sepemahaman kami bahwa itu bisa dilanjut, karena ada bukti lain. Namanya tersangka itu tidak harus kemudian dikejar sebuah pengakuan, tetapi tugas penyidik dan penuntut umum bisa membuktikan atas fakta, alat bukti lainnya," tegas Abhan.
Saat disinggung tentang kemungkinan ada unsur politik dalam penghentian kasus Slamet Ma'arif, Abhan enggan berkomentar. Menurutnya, lebih baik dikonfirmasi ke kepolisian dan kejaksaan.
Sebelumnya, kasus dugaan pidana pemilu yang menjerat Ketua PA 212 Slamet Maarif di Surakarta, Jawa Tengah dihentikan. "Diperolah keputusan bahwa perbuatan yang dilakukan Slamet Maarif pada saat itu belum memenuhi unsur tipid (tindak pidana) pemilu," kata Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, Komisaris Besar Polisi Agus Triatmaja saat dikonfirmasi, Senin (25/2).
Agus pun menjelaskan sejumlah alasan yang menyebabkan disetopnya kasus tersebut, meski Slamet sudah sempat ditetapkan sebagai tersangka. Agus menjelaskan, dalam pengusutan kasus kmk, terdapat penafsiran makna kampanye yang berbeda-beda dari ahli pidana dan KPU.Kemudian, kata Agus, unsur mens rea atau niat dari pelaku belum bisa dibuktikan. Ini dikarenakan sebagai tersangka, Slamet setelah dipanggil dua kali belum bisa hadir. Sedangkan, masa penyelesaian perkara di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) memiliki tenggat waktu maksimal 14 hari.
Keputusan rapat Sentra Gakkumdu Solo pun menyatakan kasus itu dihentikan."Perlu ditekankan, daei unsur kepolisian, menyikapi fakta itu Polri tetap bersikap netral objektif dan profesional, tetap mempertimbangkan dan menghargai pendapat dari emua unsur Gakkumdu," kata Agus.Agus pun menegaskan, Polri bukan mengkriminalisasi ulama seperti yang dituduhkan saat polisi melakukan penegakkan Slamet Maarif. Agus menyatakan, Polri tetap akan mengawal agar pemilu atau kampanye slalu dalam koridor hukum.