Senin 25 Feb 2019 08:38 WIB

Shamima Begum Bikin Pusing Inggris

Shamima Begum ditemukan di sebuah kamp tahanan di Suriah, dua pekan lalu.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto:

Dalam kasus Shamima Begum, keluarganya telah menyatakan akan mengajukan banding bila Menteri Dalam Negeri Inggris benar-benar mencabut kewarganegaraan putrinya. Mereka yakin pengadilan akan mengabulkan banding tersebut. Salah satunya karena faktor usia.

Pada saat melarikan diri dan bergabung dengan ISIS, usia Shamima baru 15 tahun. Beberapa bulan kemudian, ia menikah dengan anggota ISIS lain hingga melahirkan anak. Apalagi, Shamima telah menunjukkan kenaifannya ketika bergabung dengan kelompok teroris itu. Hal-hal seperti ini, keluarganya yakin, akan menjadi pertimbangan kuat pengadilan.

Hal lain yang menjadi persoalan, undang-undang melarang pencabutan kewarganegaraan seseorang apabila hal itu membuat yang bersangkutan kehilangan tempat tinggal tanpa negara alias gelandangan. Menurut pengacara keluarga Shamima, yang bersangkutan tidak memiliki kewarganegaraan lain kecuali Inggris meskipun orang tuanya merupakan imigran Bangladesh.

Dengan begitu, pencabutan kewarganegaraan oleh Mendagri Inggris akan menjadikan remaja putri itu sebagai tunawisma. Hidup menggembel. //Stateless//.

Persoalan lain menambah rumit lantaran ketika di kamp tahanan, Shamima—yang masih membawa paspor Inggris—melahirkan seorang anak. Jika kewarganegaraan Shamima benar-benar dicabut, lalu bagaimana dengan anaknya? Menurut undang-undang, si anak akan membawa kewarganegaraan Inggris. Itu berarti akan memisahkan ibu-anak.

Kasus Shamima jelas menggambarkan betapa peliknya masalah yang dihadapi negara seperti Inggris dalam memperlakukan para warganya yang telah bergabung dengan ISIS. Mencegah mereka kembali ke negaranya tentu bukan solusi, bahkan akan menjadi beban negara-negara lain, seperti Suriah dan Irak atau negara-negara asal para imigran. Itu pun kalau negara-negara itu mau menerima mereka.

Mengamendemen undang-undang yang lebih tegas serta memberikan sanksi yang lebih berat kepada mereka mungkin bisa menjadi solusi. Minimal itu membuat mereka berpikir ulang bila ingin bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis, radikalis, dan teroris.

Namun, yang lebih penting adalah bagaimana membongkar jaringan para teroris. Juga lebih mengintensifkan kerja sama internasional untuk menghabisi eksistensi mereka, baik secara militer, ekonomi, keamanan, maupun ideologi. Wallahua’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement