Senin 25 Feb 2019 08:38 WIB

Shamima Begum Bikin Pusing Inggris

Shamima Begum ditemukan di sebuah kamp tahanan di Suriah, dua pekan lalu.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Shamima Begum Khan namanya. Remaja putri 19 tahun ini kini sedang bikin pusing Inggris. Nasibnya menjadi perdebatan ramai, yakni bagaimana memperlakukan dia yang empat tahun lalu— ketika itu usianya baru 15 tahun—meninggalkan sekolahnya dan minggat dari keluarganya di London untuk untuk menjadi “pengantin” ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di Suriah? Pengantin adalah istilah yang digunakan ISIS untuk mereka yang bersedia melakukan serangan bom bunuh diri.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Inggris Sajid Javid bersuara: cabut kewarganegaraannya! Ada yang mendukung, ada yang menentang. Malah ada yang menuntut agar dilakukan tindakan lebih keras. Misalnya, mengamendemen undang-undang pengkhianatan abad ke-14 untuk diterapkan pada mereka yang pernah bergabung dengan kelompok teroris, seperti ISIS dan Alqaidah.

Belakangan, Javid meralat pernyataannya. Kamis (21/02), ia mengatakan, Pemerintah Inggris tidak akan membiarkan seseorang tanpa kewarganegaraan. Pernyataan Javid tampaknya merujuk pada Shamima Begum yang kini telah menjadi ibu seorang anak dari perkawinannya dengan anggota ISIS lain dari Belanda, Yago Riedijk, 27 tahun. Mereka menikah beberapa bulan setelah Shamima tiba di Suriah.

Shamima ditemukan di sebuah kamp tahanan di Suriah, dua pekan lalu, setelah beberapa hari sebelumnya basis terakhir ISIS di kawasan timur Suriah itu digempur pasukan Demokratik Suriah. Yang terakhir ini merupakan pasukan milisi Kurdi dukungan AS. Nasib Shamima terkait dengan kewarganegaraannya lalu menjadi sorotan internasional. Ke mana ia dan anaknya harus pergi bila tanpa status kewarganegaraan jelas?

Inggris memang sedang pusing menghadapi lebih dari 900 warganya yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak. Bahkan, menurut pengamat Timur Tengah Osman Mirghani, dalam kasus ini Inggris tidak sendirian. Sejumlah negara Eropa juga mengalami kepusingan serupa. Kasus para mantan “pejuang” ISIS kini menjadi perdebatan seru.

Berdasarkan laporan Koordinator Penanggulangan Terorisme Uni Eropa, lebih dari 5.000 warga dari negara-negara Eropa telah bergabung dengan ISIS. Sejumlah 1.750 orang sudah kembali ke negara masing-masing, yang lainnya telah terbunuh atau tertangkap. Sisanya melarikan diri ke Libya, Afghanistan, atau negara lain yang sedang dilanda konflik.

Di antara yang kembali hanya beberapa yang kemudian diadili. Sebagian besar lainnya hidup di bawah pengawasan keamanan ketat berdasarkan undang-undang kontraterorisme. Mereka dikhawatirkan dapat menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak, sebagaimana terbukti dalam beberapa aksi teroris yang terjadi di beberapa negara Eropa secara sporadis.

Hingga kini belum ada satu kesepakatan pas mengenai cara memperlakukan para mantan anggota ISIS ini. Untuk membawa mereka ke sidang pengadilan, pihak berwenang membutuhkan bukti kuat tentang keterlibatan mereka dalam pertempuran bersama ISIS atau kejahatan lain. Dalam banyak kasus, untuk mendapatkan bukti yang cukup menjadi masalah tersendiri.

Mereka yang telah kembali banyak yang kemudian mengingkari keterlibatannya ikut perang bersama ISIS. Mereka berdalih kepergiannya ke Suriah atau Irak untuk alasan bantuan medis atau kemanusiaan. Pergerakan mereka yang selalu berpindah-pindah di zona tempur pun sulit dideteksi. Sama sulitnya bila ingin mendapatkan akses saksi dari para warga yang menjadi korban keganasan ISIS, baik di Suriah maupun di Irak.

Hal lainnya, ternyata bukan persoalan gampang bagi pihak berwenang untuk meyakinkan para hakim bahwa para anggota ISIS yang berada di kursi pesakitan ini merupakan ancaman teroris yang serius, bukan sekadar ancaman hipotesis. Sulitnya pembuktian ini yang menyebabkan banyak anggota ISIS kemudian dihukum bebas atau hanya hukuman ringan.

Anggota ISIS yang telah kembali ke Inggris diperkirakan sebanyak 425 orang. Namun, belum diketahui berapa di antara mereka yang telah dihadapkan ke pengadilan dan berapa yang berada di bawah pengawasan ketat.

Sejumlah mereka diklasifikasikan sebagai tidak membahayakan keamanan negara. Ada yang menyesal telah bergabung dengan ISIS, ada yang hanya ikut-ikutan dan bukan benar-benar ekstremis-radikalis, dan ada yang bergabung dengan ISIS lantaran terpengaruh pikiran naif, bukan ideologis.

Ada juga kelompok yang menganggap mereka yang kembali dari Suriah dan Irak dapat dimanfaatkan sebagai “harta karun” dinas intelijen. Dari mereka bisa digali informasi mendalam untuk mencegah operasi teroris. Juga untuk mengidentifikasi elemen-elemen paling ekstrem yang dapat menimbulkan ancaman keamanan nasional. Mulai dari eksekusi, perencanaan, hingga perekrutan.

Mayoritas warga Inggris sendiri mendukung pelarangan kembalinya anggota ISIS. Dalam sebuah jajak pendapat, lebih dari 70 persen warga Ratu Elizabeth ini mendukung pencabutan kewarganegaraan Shamima Begum Khan.

Namun, pencabutan kewarganegaraan ternyata juga bukan merupakan solusi di negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum seperti Inggris. Negara seperti ini menjamin setiap warga untuk naik banding.

Hasilnya, bisa saja kemudian pengadilan yang lebih tinggi menolak pencabutan kewarganegaraan itu apabila dipandang yang bersangkutan tidak membahayakan keamanan nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement