Rabu 20 Feb 2019 02:00 WIB

Eni Saragih Tegaskan Bukan Pelaku Utama Korupsi PLTU

Eni Saragih menyebut dirinya hanya menjalankan perintah partai.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih bersiap mengikuti sidang tuntutan, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih bersiap mengikuti sidang tuntutan, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan wakil ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih membacakan nota pembelaan atau pleidoi pribadi terkait tuntutan terhadap dirinya di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (19/2). Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut delapan tahun penjara serta denda sebesar Rp 300 juta subsidair empat bulan kurungan, selain itu Eni juga dituntut untuk dijatuhkan  pidana berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak terdakwa Eni Maulani Saragih selesai menjalani pidana pokok.

Dalam pleidoinya, Eni menyebut dirinya bukan pelaku utama dalam perkara korupsi yang ia hadapi. Eni menegaskan keterlibatannya hanya karena menjalankan perintah pimpinan partai.

Baca Juga

"Keteribatan saya dalam proyek PLTU Riau 1 bukanlah sebagai pelaku utama. Tetapi, semata karena saya petugas partai yang mendapat penugasan dari pimpinan partai," kata Eni saat membacakan pleidoi di hadapan majelis hakim, Selasa (19/2).

Diketahui, saat itu pimpinan partai berlambang pohon beringin itu masih Setya Novanto. Eni menuturkan, Novanto yang kala itu masih menjabat sebagai Ketua DPR RI. Eni diminta untuk membantu pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dalam mendapatkan proyek PLTU Riau 1 karena saat itu ia berada di Komisi VII DPR RI yang menanungi urusan energi.

Masih dalam nota pembelaannya, Eni juga meminta maaf kepada masyarakat di Jawa Timur. Khususnya, Eni meminta maaf kepada warga di daerah pemilihannya di Dapil X yang meliputi Gresik dan Lamongan.

"Beribu kata maaf saya lontarkan kepada masyarakat, khususnya kepada warga yang menaruh harapan pada saya saat saya menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019," tutur Eni.

Dalam pleidoinya, Eni juga meminta maaf kepada masyarakat di Temanggung. Eni mengakui menggunakan uang yang dia terima dari pengusaha untuk keperluan suaminya mengikuti pemilihan bupati di Temanggung.

Selain itu, Eni juga mengaku amat menyesali perbuatannya. Bahkan, tuntutan 8 tahun yang dilayangkan Jaksa KPK pun langsung menghantui dirinya, lantaran terlibat kasus PLTU Riau-1 ini, Eni harus berpisah dari keluarga.

"Saya terkaget oleh tuntutan 8 tahun yang dibacakan jaksa penuntut umum pada 6 Februari 2019 melihat Anak saya menangis di ruangan sidang ini, itu yang saya rasa paling menyedihkan hati saya pada saat itu," ungkap Eni.

"Saya menyesal apa yang terjadi pada diri saya saya bertobat," tambah dia.

Eni pun mengaku bahwa ia menerima konsekuensi atas perbuatannya, "tapi saya mohon keadilan hukuman yang saya jalani kepada majelis hakim yang mulia membaca tuntutan yang menolak justice collaborator saya untuk diri saya," tuturnya.

Menanggapi pleidoi Eni, Jaksa KPK menegaskan masih tetap pada tuntutan mereka. Sementara Majelis Hakim memutuskan untuk menunda sidang dan akan melanjutkan persidangan pada Jumat (1/3) pekan depan dengan agenda pembacaan putusan.

Dalam tuntutannya, Jaksa KPK meyakini Eni Saragih bersalah karena menerima uang suap sebesar Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.‎ Selain itu, Eni juga diyakini telah menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha.

Dalam tuntutan, uang yang diterima Eni tersebut agar membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1. Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.

Menurut jaksa, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.

Selain itu, Eni juga dinilai terbukti menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura. Sebagian besar uang tersebut diberikan oleh pengusaha di bidang minyak dan gas. Menurut jaksa, sebagian uang tersebut digunakan Eni untuk membiayai kegiatan partai. Selain itu, untuk membiayai keperluan suaminya yang mengikuti pemilihan bupati di Temanggung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement