Selasa 19 Feb 2019 03:53 WIB

Pascadebat, Ini Kritik Walhi untuk Kedua Calon Presiden

Komitmen kedua paslon dalam perubahan iklim dinilainya patut diragukan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Hasanul Rizqa
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Khalisah Khalid, bersama Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati dan Manajer Penanganan Kasus dan Emergency Response Walhi Edo Rakhman (dari kiri ke kanan) memberikan pemaparan kepada awak medi
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Khalisah Khalid, bersama Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati dan Manajer Penanganan Kasus dan Emergency Response Walhi Edo Rakhman (dari kiri ke kanan) memberikan pemaparan kepada awak medi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengaku cukup kecewa dengan hasil debat calon presiden (capres) kedua pada Ahad (17/2) malam lalu. Salah satu alasannya, kedua capres tidak menyinggung secara tegas perlunya penangguhan perluasan lahan untuk perkebunan sawit.

"Moratorium sawit tidak sama sekali menjadi pertimbangan keduanya, padahal kebijakan moratorium (menghentikan) adalah jalan pembenahan tata kelola sumber daya alam,” ujar Desk Politik Eksekutif Nasional Walhi, Khalisah Khalid, dalam konferensi pers kepada wartawan, Senin (18/2).

Baca Juga

Menurut Khalisah, capres pejawat Joko Widodo (Jokowi) tidak menekankan komitmen moratorium pembukaan lahan sawit yang akan habis dan berakhir dalam dua tahun lagi. Hal yang serupa juga ditunjukkan capres dari kubu penantang, yakni Prabowo Subianto. Bahkan, dalam ajang debat tersebut, Ketua Umum Partai Gerindra itu sempat menyatakan sepakat dengan Jokowi soal memperkuat produksi sawit nasional.

Khalisah menegaskan, pengarusutamaan isu lingkungan dalam debat tersebut masih jauh dari harapan. Dalam ajang tersebut, isu kerusakan hutan, deforestasi, serta rehabilitasi lingkungan hidup tidak disebut-sebut oleh kedua kandidat. Isu korupsi sumber daya alam dan adanya kepentingan masyarakat adat memang sempat disinggung Jokowi, tetapi itu pun hanya sekali.

“Jika mengacu pada debat capres (putaran) kedua ini, komitmen kedua paslon dalam perubahan iklim diragukan. Energi kotor batu bara yang menjadi salah satu penyumbang emisi. Biofuel yang akan memicu deforestasi dan penghasil emisi tidak mau ditinggalkan, melainkan digadang-gadangkan sebagai energi terbarukan," papar dia.

photo
Capres No 01 Joko Widodo dan Capres No 02 Prabowo Subianto usai debat kedua calon presiden pemilu 2019, Jakarta, Ahad (17/2).

 

Mereka berdua, kata Khalisah, mengalami gagal paham dalam menerjemahkan energi terbarukan. Sebab, biofuel justru cenderung pada penghancuran hutan, meningkatkan emisi gas rumah kaca, serta kian melanggengkan praktik-praktik perampasan tanah, khususnya tanah-tanah masyarakat adat.

Parahnya kedua capres, menurut dia, tidak cukup baik dalam membuat narasi yang komprehensif soal penanganan isu lingkungan. Apatah lagi menyoroti soal kerusakan lahan dan deforestasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan sawit.

"Kami berpendapat mereka memang enggan untuk keluar dari energi yang merusak lingkungan, yang biodesel dan bioetanol. Mereka akur untuk pengembangan dan mendukung perkebunan sawit," tutur dia.

Menurut Khalisah, titik-titik kebakaran hutan selama ini berada di lahan sawit. Demikian pula dengan munculnya persoalan konflik lahan, yang terbesar ada di perkebunan sawit.

Hampir semua perusahaan sawit, kata dia, ikut merusak lingkungan dan lahan yang semestinya untuk pertanian. Banyak pula pelanggaran hukum dari praktik-praktik korupsi di persoalan perizinan korporasi sawit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement