Sabtu 16 Feb 2019 21:53 WIB

Dakwah Muhammadiyah Moderat dan tak Berlebihan

Ada gairah untuk hidup beragama lebih baik.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Teguh Firmansyah
Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berpidato di Seminar Pra-Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu, Kamis (14/2).
Foto:

Selain faktor perubahan sosial, proses demokrasi pascareformsi yang memunculkan pandangan-pandangan keagamaan puritan (kemurnian agama) perlu dimanfaatkan agar ketika seseorang kembali kepada agama tidak ghuluw atau berlebihan. Haedar mengatakan, sikap berlebihan dalam berpakaian tak ada tuntunannya dalam Tarjih Muhammadiyah.

“Hijrah di kalangan artis itu fenomena yang orang ingin kembali kepada agama yang puritan. Akan tetapi ketika muncul padangan yang disebut ghuluw atau berlebihan itu orang beragama hanya satu aspek saja. Ketika aspeknya ibadah lalu agak mengambaikan muamalah atau hubugan lain,” katanya.

Apalagi kata Haedar, ketika ada peneguhan identitas terhadap orang yang hijrah dan pada prakteknya selalu berhadapan dengan indentitas lain yang sifatnya bukan relasi dan saling interkoneksi malah justu saling berlawanan. Misalnya orang mengkafirkan orang yang tidak satu paham dengannya.

“Mereka beragama seperti ini kemudian menimbulkan sisi lain dari orang menyebut ada gejala radikalisme beragama yang sebernarnya lanjutan saja dari ekstremisme atau bentuk dari ghuluw dalam beragama,” katanya.

Mereka yang beragama berlebihan itu, menjadikan agama sebagai instrumen untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka yang berbeda paham. Mereka orang yang berlebihan itu, menyebut orang berbeda paham itu pihak yang telah melakukan kemungkaran dan harus dicegah dengan cara main hakim sendiri.

Padahal seharusnya pencegahan itu menjadi domain untuk hukum bukan orang yang merasa benar dengan pemahaman agama barunya. “Niatnya untuk nahi munkar, mencegah kemungkaran tapi caranya dengan ekstrem,” katanya.

Dalam kontek ini, khusus keberagamaan, maka Muhammadiyah ingin menghadirkan kembali nilai-nilai Islam mencerahkan yang semangatnya memang mengeluarkan orang dari berbagai macam ketertinggalan, kejumudan atau stagnasi atau beragama yang berlebihan jadi beragama yang wasathiyah atau yang tengahan.

“Jadi nilai-nilai ini terus yang akan kita ingin hadirkan beragama yang tengahan tetapi juga memberi penguatan pada karakter beragama yang sifatnya membentuk akal budi yang mulia,” katanya.

Sehingga kata Hedar, ketika orang meneguhkan identitas keagamaan, sesunggunya mereka ingin menjadi orang yang baik. Tetapi ketika nilai-nilai yang ditanamkan itu multi aspek, maka tidak membentuk karakter akhlak mulia tetapi identias diri yang berlebihan.

“Nilai tentang kebenaran, kebaikan, kepantasan, kemudian toleransi taawun mau kerja sama dengan orang lain termasuk yang berebda agama ini yang kita praktekan di Muhammadiyah,” katanya.

Bersamaan dengan itu, Muhammadiyah, kata Haedar, ingin mencoba menghadapi kecenderungan beragama dengan mendorong paham yang tidak radikal. Melainkan, dengan cara moderat. Mengapa? Karena kata Haedar pada dasarnya mereka itu memang ingin hidup soleh, ingin beragama yang baik.

"Tetapi pemahaman yang diberikan itu oleh satu paham saja. Untuk itu kita ingin memberikan satu pandangan misalnya cara berpakaian itu seperti ini, Rasullullah ajarkannya seperti ini, banyak pakainya yang Islami, tidak harus seperti ini yang penting menutup aurat,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement