Jumat 22 Apr 2022 05:32 WIB

Politik, Masjid, Sholat Jumat: 'Deja vu' Ala Kekuasan Jawa

Politisasi masjid, sholat, dan Islam hanya mengulang gaya kekuasaan lama di Jawa.

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto:
MASJID MAKAM IMOGIRI

Sisa hubungan antara masjid, kraton, dan politik masih jelas tersisa hingga kini. Lihat saja lanskap atau tata letak kompleks kraton Jogjakarta dan Solo yang meniru gaya Turki Ustmani. Di kompleks kraton di sana pasti ada alun-alun, penjara, hingga masjid.

Di masjid Kraton di Kauman Yogyakarta misalnya, di sana juga ada tempat khusus di sebelah kiri tak jauh dari tempat imam yang khusus disediakan untuk raja ketika hendak menunaikan shalat jumat atau menghadiri upacara keagamaan di masjid itu. Tempatnya mirip mimbar dan terbuat dari bangunan kayu jati yang kuat dan berukir indah.

Tak hanya itu saja, kraton pun memberi aturan baku mengenai bagaimana bentuk arsitektur masjid, berapa tingkat jumlah joglo yang menjadi atapnya, hingga cara penyebaran adzan yang kala itu diatur bahwa masjid kraton adalah masjid yang pertama mengalunkan adzan baru disusul dengan masjid lain.

Saat itu juga ada aturan bahwa di wilayah kerajaan hanya boleh berdiri masjid, dan masjid malah dijadikan sebagai 'tetenger' tanda batas wilayah kerajaan (Masjid Pathok Nagari). Ketentuan ini eksis sebelum kerajaan Mataram Islam ini betul-betul jatuh secara total kepada pemerintah kolonial seusai kekalahan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa (1825-1830).

photo
Paku Buwono X dan 'Eyang' Gubernur Jendral Belanda.

Selain itu harus diakui masjid, sholat Jumat, dan politik saling bertemali secara kuat dengan kekuasaan politik raja Jawa. Bahkan, ajaran Islam dipakai sebagai basis legitimasi kekuasaan secara gaib meski ada pesaingnya yang lain, yakni hikayat dan sosok mistis bernama Ratu Kidul.

Salah satu contoh hubungan legitimasi Islam tersebut adalah kisah pendirian komplekspemakaman raja Jawa Mataram Islam di Imogori. Bila dirunut kisah ini sebenarnya merupakan saduran kisah serupa yang ada di 'Babad Tanah Jawa'. Kisahnya begini lazim di ceritakan oleh 'kuncen' (penjaga makam) Sultan Agung, di Imogiri.

Kepada setiap pengunjung makam, juru kunci itu selalu dengan antusias mengisahkan betapa tingginya ilmu kanuragan yang dimilikinya, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Tak tanggung-tanggung Sultan Agung selalu menjalankan sholat Jumat di Makkah al Mukarramah yang berjarak ribuan kilometer dari Pulau Jawa. Dengan kata lain, Sultan Agung bisa berpindah dengan sangat cepat ke Makkah untuk menjalankan sholat Jumat di sana.

Atas kebiasaan melakukan sholat Jumat di Makkah itu, tindakan Sultan Agung itu mendapat respons dari ulama Makkah yang disebutnya dengan nama Imam Sufingi (terindikasi sebagai Syarif Makkah, red). Tak hanya itu, Sultan Agung kepada syarif Makkah itu meminta izin untuk membangun makam di kota Makkah yang disebutnya berada di arah sebelah barat Makam Nabi Muhammad SAW.

photo
Syarif Makkah pada tahun 1855.

Namun, keinginan itu ditolak oleh Syarif Makkah (yang oleh orang Jawa menyebutnya sebagai Imam Sufingi itu). Alasannya bila dirinya dimakamkan di Makkah maka rakyat Jawa akan sudah menziarahinya karena letak makam itu sangat jauh serta  berada di belahan dunia yang berbeda,

Namun, agar tak kecewa dikisahkan kemudian Syarif Makkah memberi jalan tengah. Sultan Agung diminta untuk mengambil pasir di Makkah dan melalui pasir itu nanti lokasi Makam akan ditentukan. ''Kalau sampai di Jawa sebarkan pasir dari Makkah itu. Maka di situlah tempat makammu,'' kata Syarif Makkah. Atas saran dari syarif Makkah itulah makam Sultan Agung di Imogiri didirikan.

Uniknya, bila menilik dari sisi catatan sejarah, soal kedatangan Sultan Agung ke Makkah, identik dengan catatan adanya dua rombongan dari kesultanan Mataram ke Makkah pada tahun 1620-an. Namun berbeda dengan kisah yang ada di 'Babad Tanah Jawi' kepergian utusan itu adalah untuk meminta legitimasi dan perlindungan dari kekuasaan imperium Ottoman (Makkah adalah wilayah Otoman). Sultan Agung sendiri tak pernah disebut bila pernah ke Makkah. Rombongan dari Jawa itu hanya datang untuk meminta izin penggunaan gelar Sultan sebagai nama raja Jawa mengantikan nama ala raja Majapahit 'Susuhunan'.

Pada sisi lain, permintaan legitimasi kepada Syarif Makkah dan imperium Otoman pun pernah diceritakan langsung oleh Sultan Hamengku Buwono X dalam pembukaan Munas MUI beberapa tahun silam. Kala itu Sultan mengisahkan jejak 'Ottoman' itu ada pada bendera yang di Keraton Demak dan kemudian di bawa hingga Kerajaan Mataram, yakni pada pusaka Tunggul Wulung.

"Benda pusaka (bendera Tungul Wulung) itu sebetulnya adalah lembaran kain kiswah Ka'bah. Dan ini dahulu di bawa dari Makkah yang saat itu merupakan wilayah kekuasaan Turki Utsmani,'' kata Sultan Hamengku Buwono X.

Sultan saat itu lebih lanjut mengatakan: Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk tanah Jawa, dengan penyerahan bendera 'Laa ilaah illa Allah' berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.

"Ketika 1935 Ataturk mengubah sistem kalender Hijriyah menjadi Masehi, jauh pada zaman Sultan Agung tahun 1633 telah mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka. Masa itu sering disebut sebagai awal Renaisans Jawa,'' kata Sultan.

Maka bercermin dari kisah itu, tak usah heran kalau pada hari-hari sekarang ini ada suana elit kekuasaan yang sedang saling berebut soal klaim kesalehan, sholat, hingga penggunaan legitimasi masjid. Lebih dari 600 tahun silam perilaku seperti itu sudah terjadi di Jawa yang sampai hari ini masih menjadi wilayah pusat kekuasaan.

Alhasil, tak usahlah 'kagetan', 'gumunan (kagum), dumeh (sok punya) apalagi sampai 'ngamukan' (membuat ribut dengan mengamuk). Di sini tampak jelas kisah peradaban manusia Indonesia sebenarnya hanya berkutat  yang 'itu-itu' saja. Persis lagu lama yang terus 'diputar ulang' (deja vu, istilah Prancis). Mudah-mudahan bangsa ini tidak seperti sapi atau kerbau yang suka memamah biak..!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement