Kamis 14 Feb 2019 19:13 WIB

Sleman Diminta Perhatikan Penataan Pasar

Masyarakat kecil harus menjadi prioritas utama.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Aktivitas jual beli di pasar tradisional.
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Aktivitas jual beli di pasar tradisional.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Penataan pasar tradisional dan pasar modern memang perlu perhatian seksama. Sebab, tata letak yang asal bisa menimbulkan, konflik, kerugian dan bahkan bisa mematikan satu sama lain.

Hal itu yang disampaikan Komunitas Sleman Berdiskusi saat melakukan audiensi dengan Pemkab Sleman, DIY. Perwakilannya, Iwan dan Heru, diterima langsung bupati, kepala Kesbagpol, dan kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

Mereka menyoroti pembangunan pasar-pasar modern atau berjejaring di Sleman yang disebut cukup masif. Walau mengaku tidak menolak kehadiran pasar-pasar itu, ia merasa harus diperhatikan peraturan-peraturan terkait itu.

"Utamanya, Raperda Inisiatif tentang Pasar Berjejaring dan Modern, yang secara sistematis akan menghentikan produktivitas ekonomi kelas menengah dan kelas bawah," kata Iwan, Kamis (14/2).

Ia merasa, kehadiran toko-toko modern yang jaraknya terlalu dekat misalnya, akan memberi dampak kepada toko-toko kelontong dan warung pinggir jalan. Sebab, mereka tidak bisa bersaing dalam mendatangkan keuntungan yang melimpah.

Akhirnya, lanjut Iwan, mereka cuma bisa menjalani proses bertahan yang dirasa sebagai satu bentuk ketidakadilan. Walau tidak menolak investasi asing, ia mengingatkan kalau masyarakat kecil harus menjadi prioritas utama.

"Belum lagi akan diterbitkan perda, yang memperpendek jarak pasar-pasar modern dan pasar-pasar tradisional, ini tidak cuma persoalan persaingan, ini bisa mengubah paradigma masyarakat," ujar Iwan.

Pada kesempatan itu, Bupati Sleman, Sri Purnomo menuturkan, Raperda Inisiatif yang dikeluhkan itumemang sudah berada di provinsi. Artinya, mereka tinggal menunggu hasil evaluasi provinsi.

Namun, ia menerangkan, pembangunan pasar-pasar modern seperti Sleman City Hall misalnya, dirasa sudah sesuai peraturan yang berlaku. Bahkan, diniatkan untuk bisa menampung ratusan tenaga kerja Sleman.

Selain itu, Sri merasa, pasar modern maupun pasar tradisional memiliki segmen yang berbeda. Karenanya, perlu diskusi yang tidak pendek untuk melihat apakah kehadiran pusat perbelanjaan seperti itu mematikan toko-toko kelontong sekitar.

Lagipula, ia menekankan, Pemkab Sleman sendiri sudah melaksanakan langkah-langkah revitalisasi kepada pasar-pasar tradisional. Tujuannya, tidak lain agar mampu menghadirkan suasana yang juga nyaman atau tidak kumuh bagi pengunjung.

Pasar Sambilegi misalnya. Sri mengingatkan, Pasar Sambilegi pekan ini baru saja mendapat penghargaan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI sebagai pasar aman dari bahan berbahaya. "Itu kerja kami dalam rangka menyehatkan, mengangat harkat dan martabat pasar-pasar di Sleman," kata Sri.

Lalu, revitalisasi yang dilakukan di Pasar Prambanan, yang membuatnya menjadi tiga tingkat lengkap dengan tempat parkir yang ada di tiap-tiap tingkat. Ada pula Pasar Kalasan, Pasar Sleman, dan lain-lain.

Tahun lalu, lanjut Sri, revitalisasi telah pula dilakukan kepada Pasar Kalasan, Pasar Wonosari, Pasar Gendol, dan Pasar Turi. Tahun ini, sejumlah revitalisasi pasar juga sudah direncanakan untuk dilaksanakan.

Masih terkait itu, Sri mengungkapkan, Pemkab Sleman telah pula menggandeng satu komunitas retail besar di Indonesia untuk menghadirkan lahan bagi toko-toko kecil. Tujuannya, agar mereka tidak tertinggal dan mendapat kesempatan sama.

Dari 1.000 toko-toko DIY itu, 600 ruang disebut sudah akan diberikan bagi toko-toko dari Sleman. Meski begitu, Sri mengakui, jika angka 600 masih cukup kecil dibanding 12 ribu total yang dimiliki Sleman.

Untuk itu, ia menegaskan, segala kebijakan yang diambil Pemkab Sleman terkait penataan pasar-pasar itu tidak selalu pro kepada pemain besar. Sedangkan, soal jarak pasar modern dan tradisional, Sri akan menunggu evaluasi provinsi.

"Jadi kita tidak meninggalkan, semua kita dorong, yang kecil didorong maju, yang besar juga kita sokong," ujar Sri.

Secara umum, untuk DIY  permasalahan pasar modern dan pasar tradisional memang kerap menimbulkan konflik. Utamanya, di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.

Penolakan biasanya terjadi lantaran jarak toko-toko berjejaring, misalnya, dianggap terlalu dekat toko-toko kelontong. Hal itu dirasa bisa mengancam keberadaan toko-toko tradisional.

Dua pekan lalu, sejumlah pedagang pasar Sleman yang tergabung dalam Forum Peduli Pasar Rakyat menggelar aksi di komplek kantor Gubernur DIY. Mereka meminta Sri Sultan Hamengku Buwono X meninjau atau menunda Raperda Penataan Pusat Perbelanjaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement