REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh memperkirakan, konflik atau gangguan gajah sumatra akan terus berlanjut. Ini terjadi selama pemerintah tidak mencengah pengalihan fungsi hutan lindung menjadi kawasan perkebunan.
"Konflik gajah itu tidak akan pernah berakhir sampai gajah habis, karena hutan lindung terus beralih fungsi menjadi proyek energi, tambang dan perkebunan," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh M Nur di Banda Aceh, Kamis (14/2).
Populasi gajah sumatera kata dia, sudah berubah karena pengalihan fungsi lahan sangat tinggi di provinsi paling ujung barat Indonesia dan jalur satwa dilindungi pun menjadi wilayah industri serta perkebunan.
"Gajah itu sudah hidup di luar kawasan karena jalur lintasannya berubah fungsi. Gajah tidak akan berkonflik dengan manusia jika wilayah hidupnya dilindungi," ucap M Nur.
Selain itu, M Nur menyatakan, konflik gajah sumatra itu juga disebabkan dua faktor. Yakni, pemburuan gading dan pengalihan fungsi hutan lindung menyabkan satwa dilindungi itu turun ke areal perkebunan hingga pemukiman penduduk.
Konflik gajah pun sering terjadi disejumlah kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Yaitu, Bener Meriah, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Tenggara dan Aceh Barat hingga Kabupaten Aceh Selasan.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat, sepanjang 2017 di provinsi paling barat Sumatra terjadi konflik gajah sebanyak 103 kasus dan pada 2018 keseluruhan ada 73 kasus.
Kemudian, pada awal 2019 konglik gajah pun kembali terjadi dengan masyarakat dan gajah sumatera itu merusak belasan hektar kebun warga di Kabupaten Bener Meriah, Pidie, Aceh Barat Hingga Kabupaten Aceh Utara.