Kamis 14 Feb 2019 05:00 WIB

Bandara Sepi, Pariwisata Lombok Sunyi

Kenaikan harga tiket pesawat di saat low season berdampak pada wisata Lombok.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Friska Yolanda
Sejumlah penumpang bersiap menaiki pesawat di Bandara Lombok International Airport (LIA) di Praya, NTB, Rabu (29/11). Kementerian Perhubungan menyatakan aktivitas di Bandara Lombok berjalan normal pascagempa yang terjadi Ahad (29/7).
Foto: Ahmad Subaidi/Antara
Sejumlah petuagas melakukan aktifitas bongkar muat pesawat di Bandara Lombok International Airport (LIA) di Praya, Lombok Tengah, NTB, Sabtu (2/12). Lombok International Airport yang merupakan salah satu dari 10 bandara alternatif jika terjadi penutupan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali akibat dampak dari abu vulkanik Gunung Agung.

Sepinya bandara tak hanya dirasakan para pedagang, melainkan juga para sopir taksi dan travel. Seorang sopir travel resmi bandara, Hendra mengaku sudah dua hari tidak mengantar penumpang, meski selalu bersiap di konter yang berada tepat di depan pintu kedatangan penumpang. 

"Sepi sejak gempa, sekarang tiket naik dan bagasi bayar yang membuat semakin sepi," ucap Hendra. 

Perusahan travel tempatnya bekerja menyediakan lima armada di LIA. Namun, sudah dua hari terakhir, kelima armada tersebut praktis tidak ke mana-mana lantaran tidak ada penumpang.  

Hendra menyebutkan, selain dampak bencana, harga tiket pesawat, penerapan bagasi berbayar, dan low season, keberadaan travel liar juga menjadi persoalan tambahan. 

Kata Hendra, travel liar yang ada di LIA membuat para travel resmi kelabakan. Dia mencontohkan, travel resmi yang memiliki konter di depan pintu kedatangan penumpang mematok tarif untuk satu mobil dari bandara ke Mataram mulai dari Rp 200 ribu. Sedangkan, travel liar menawarkan harga jauh di bawah tarif tersebut. Belum lagi tindakan para travel liar yang berebut menawarkan jasa membuat para travel resmi tidak berkutik.  

"Sistem menunggu di konter resmi berantakan, travel liar maju menawari penumpang dan memainkan harga kita bisa mati, kita yang resmi terbengkalai," ucap Hendra. 

Hendra juga pernah mendapat keluhan dari wisatawan mancanegara (wisman) terkait aktivitas para travel liar yang berebut mendapatkan penumpang.  "Turis-turis terutama yang asing juga risih. Pernah penumpang saya (wisman) bilang, ini bandara apa terminal," kata Hendra. 

Sopir dari Koperasi Taxi Mataram (Kotama), Sudirman, mengatakan, saat gempa dia kerap antar-jemput penumpang. Saat itu, banyak relawan datang ke Lombok. Pun turis asing yang hendak meninggalkan Lombok. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama. 

Sebelum gempa, dalam sehari minimal dua kali Sudirman bisa mengantar penumpang yang baru tiba di LIA. Hal itu berdasarkan antrean konter Kotama di bandara. Kondisi tersebut tak lagi terjadi saat ini. 

"Dulu (sebelum gempa) sehari dua kali, sekarang dua hari paling dapat satu kali mengikuti antrean konter. Kadang-kadang dapat dan enggak dapat, ya seperti begini sampai siang belum dapat (penumpang)," ungkap Sudirman. 

Sudirman mengaku banyak orang bergantung pada sektor pariwisata Lombok. Sepinya penumpang pesawat akan berimbas pada orang-orang seperti dia. Pascamengalami gempa beruntun, Sudirman mengaku sering menuliskan komentar di akun Facebook-nya tentang kondisi Lombok yang aman dan layak untuk kembali dikunjungi. Sudirman mengaku hanya itu yang bisa dia lakukan untuk membantu memulihkan citra pariwisata Lombok. 

"Kadang kita komen (komentar) di FB (Facebook) kalau Lombok sudah aman, mudah-mudahan ada yang baca," kata Sudirman. 

Sudirman berharap pemerintah memiliki kebijakan khusus terkait harga tiket pesawat dan bagasi berbayar untuk Lombok dan wilayah yang terkena bencana lainnya. Selain itu, Sudirman juga mendorong pemerintah menggencarkan event-event pariwisata di Lombok yang akan membantu percepatan pemulihan sektor pariwisata Lombok. 

"Kalau punya kebijakan kaji dulu, tolong pikirkan daerah pariwisata seperti kita, kan banyak juga produk oleh-oleh, kalau bagasinya bayar, yang mau beli nanti mikir," pinta Sudirman. 

Sudirman juga menyoroti masih adanya travel atau taksi liar yang mengancam pemasukan travel dan taksi resmi di LIA. Kata Sudirman, para travel liar menawarkan harga hingga Rp 100 ribu dari bandara ke Mataram atau di bawah tarif normal taksi resmi yang sekira Rp 150 ribu. 

"Jadinya perang harga seharusnya pihak bandara menertibkan tapi sepertinya cuek saja. Kita di sini pasang sabar saja," ucap Sudirman. 

Sepinya penumpang pesawat berbanding lurus dengan kondisi di destinasi wisata. Republika.co.id menyambangi kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika yang merupakan destinasi wisata yang relatif dekat dari LIA dengan jarak 19 km atau kurang ari 30 menit.

Aktivitas KEK Mandalika, terutama di sepanjang Pantai Kuta relatif sepi. Hanya terlihat beberapa wisatawan nusantara (wisnus) dan wisatawan mancanegara (wisman) yang jumlahnya bisa dihitung jari. Inaq-inaq (ibu-ibu) pedagang kerajinan tangan khas Lombok praktis hanya duduk-duduk di bawah pohon sembari berharap datangnya pengunjung. 

Seorang tukang parkir motor di Pantai Kuta, Dinah, mengaku tingkat kunjungan wisatawan menurun drastis pascagempa. Jika hari-hari biasa, motor yang parkir di tempatnya bisa mencapai puluhan motor, kini hanya ada belasan motor saja. Tarif parkir dipatok Rp 5 ribu per motor. 

"Sejak gempa sepi sampai sekarang, dapat Rp 50 ribu saja sudah bagus sekarang," kata Dinah. 

Resepsionis JM Hotel Kuta Lombok, Ema, mengatakan tingkat okupansi kamar hotel relatif rendah saat low season ini. Hotel yang berada di Jalan Pariwisata Pantai Kuta ini memiliki 24 kamar dan hanya terisi setengahnya. Mayoritas tamu, kata Ema, adalah wisman yang memiliki kecenderungan menginap cukup lama, berkisar dua pekan hingga satu bulan. 

"Kondisi sekarang bisa dibilang sudah lumayan dibandingkan saat gempa yang sepi sekali (tamu). Lumayan ada tamu asing soalnya mereka menginap bisa sampai satu bulan," ucap Ema.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement