Kamis 14 Feb 2019 05:00 WIB

Bandara Sepi, Pariwisata Lombok Sunyi

Kenaikan harga tiket pesawat di saat low season berdampak pada wisata Lombok.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Friska Yolanda
Sejumlah penumpang bersiap menaiki pesawat di Bandara Lombok International Airport (LIA) di Praya, NTB, Rabu (29/11). Kementerian Perhubungan menyatakan aktivitas di Bandara Lombok berjalan normal pascagempa yang terjadi Ahad (29/7).
Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Sejumlah penumpang bersiap menaiki pesawat di Bandara Lombok International Airport (LIA) di Praya, NTB, Rabu (29/11). Kementerian Perhubungan menyatakan aktivitas di Bandara Lombok berjalan normal pascagempa yang terjadi Ahad (29/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Jemari Piah terus memutar butiran tasbih sembari lirih mengucap zikir. Kencangnya suara bising pesawat mendarat maupun lepas lantas seolah tidak ia pedulikan. 

Kebiasaannya berzikir hanya terhenti saat ada pembeli datang. Namun belakangan ini, perempuan berusia 35 tahun itu tampak lebih sering berzikir lantaran tak ada pembeli datang. 

Piah merupakan satu dari puluhan pedagang makanan dan minuman di Bandara Internasional Lombok atau Lombok International Airport (LIA). Warung Piah berada di sebuah area kuliner yang ada di luar terminal LIA, lebih tepatnya sebelah barat terminal. Berbeda dengan restoran, ritel modern, dan coffee shop yang ada di terminal bandara, warung Piah tak beda dengan warung-warung pada umumnya yang berada di pinggir jalan dengan menu aneka jajanan ringan hingga nasi bungkus.

Kawasan ini merupakan area favorit bagi masyarakat Lombok saat mengantar maupun menjemput keluarga lantaran harganya yang relatif lebih terjangkau. Dari area ini, pengunjung bisa menyaksikan secara langsung proses lepas landas atau mendaratnya sebuah pesawat.

Dari rumahnya di Desa Ketara, Kecamatan, Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, atau sekira lima kilometer (km) dari LIA, Piah dan suami mulai menjajakan dagangannya sejak pukul 08.00 WITA hingga pukul 21.00 WITA.

"Sejak gempa mulai sepi. Pesawatnya langka, jarang turun. Mungkin karena tiket mahal juga," kata Piah saat berbincang dengan Republika.co.id di warungnya pada Sabtu (9/2).

Sejak LIA beroperasi pada 2011, Piah dan suami sudah berjualan di tempat ini. Dari sekian tahun berjualan, saat ini mungkin menjadi masa yang paling sulit bagi dirinya. Sejumlah faktor menurut Piah menjadi alasan mengapa aktivitas di LIA menurun drastis. 

Piah menyebut faktor bencana gempa yang melanda Lombok pada pertengahan tahun lalu, naiknya harga tiket pesawat, hingga penerapan bagasi berbayar, menjadi alasan sepinya bandara. Apesnya, kata Piah, kenaikan harga tiket pesawat dan penerapan bagasi berbayar terjadi saat periode low season.

"Biasanya ramai sebelum gempa, tapi sekarang sepi sekali, jarang ada yang belanja jadinya," kata Piah. 

Piah menyebutkan, sebelum gempa terjadi, dia bisa mengantongi hingga Rp 500 ribu per hari. Namun saat-saat ini, bisa membawa pulang Rp 100 ribu atau Rp 150 ribu sudah bagus bagi dia. 

"Kalau sekarang kadang Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu itu kadang kalau ada (pembeli), kalau tidak ada (pembeli), ya tidak ada (pemasukan), jauh sekali dibanding sebelumnya," keluh Piah. 

Piah berharap, kondisi bandara kembali normal agar pemasukannya bisa membaik. Pasalnya, dia sangat bergantung pada usahanya ini untuk membiayai keempat anaknya yang sedang sekolah di TK, SD, SMP, dan SMA.

Di lokasi yang sama, dua pedagang lain, Abdurahim dan Baiq Samsiyah memiliki keluhan serupa. Abdurahim mengatakan sejak gempa aktivitas bandara tidak seramai biasanya. 

"Sejak gempa sepi ditambah sekarang tiket mahal, bagasi bayar, makanya penumpang pada lewat bawah," ujar Abdurahim. 

Abdurahim mengatakan mahalnya harga tiket pesawat dan penerapan bagasi berbayar semakin menambah penderitaan Lombok yang sedang berjuang pulih dari dampak bencana. 

"Tiket mahal dan bagasi bayar, tamu (penumpang pesawat) sepi, otomatis jualan kita juga sepi, lama-lama kita pelihara kambing dan kerbau di sini kalau begini terus," kesal Abdurahim. 

Baiq Samsiyah mengungkapkan hal senada. Perempuan berusia 50 tahun itu mengaku bingung dengan kondisi saat ini. Samsiyah mengatakan hasil dari berdagang aneka jajanan ringan dan nasi bungkus sudah cukup membantu untuk membiayai anaknya sekolah. Namun itu sebelum gempa.

"Sebelum gempa lumayan untuk biaya anak sekolah dan jajan anak-anak, sekarang jujur saja, tiga hari yang lalu, saya hanya dapat Rp 7.000 dan Rp 5.000," kata Samsiyah. 

Sepinya penumpang, kata Samsiyah, membuat dia kerap menutup warungnya lebih cepat dari biasanya. Jika pada sebelumnya, dia membuka warung hingga malam, kini maksimal setelah Magrib dia sudah menutup warungnya. 

Samsiyah mengaku sedikit bernapas lega saat ada penerbangan untuk rombongan calon jamaah umrah. Pasalnya, dalam tradisi Sasak, suku Lombok, rombongan calon jamaah umrah kerap diantar oleh keluarga dan sanak saudara ke bandara. Samsiyah berharap pemerintah, baik pemerintah daerah dan pemerintah pusat mendapatkan solusi agar kondisi LIA kembali normal. 

"Kita minta tolong distabilkan biar ada yang beli. Tolong solusinya pemerintah. Bagi kami, enggak ada penumpang berarti enggak ada yang ke sini, dan anak-anak kita enggak bisa sekolah nanti. Saya tidak ingin anak anak seperti saya yang hanya mampu berjualan kopi," harap Samsiyah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement