Rabu 13 Feb 2019 12:31 WIB

Pengamat: Cantrang dan Ekspor Ikan Perlu Disorot dalam Debat

Polemik pelarangan alat tangkap cantrang tidak kunjung terselesaikan.

Nelayan memperbaiki alat tangkap cantrang di Pelabuhan Branta, Pamekasan, Jawa Timur, Jumat (2/2). Nelayan cantrang di daerah itu mulai beroperasi lagi setelah pemerintah menunda larangan penggunaan alat tangkap tersebut.
Foto: Saiful Bahri/Antara
Nelayan memperbaiki alat tangkap cantrang di Pelabuhan Branta, Pamekasan, Jawa Timur, Jumat (2/2). Nelayan cantrang di daerah itu mulai beroperasi lagi setelah pemerintah menunda larangan penggunaan alat tangkap tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menyatakan, masalah terkait polemik penggunaan alat cantrang hingga persoalan ekspor komoditas perikanan perlu disorot dalam debat capres pada 17 Februari 2019. Sebab, polemik pelarangan alat tangkap cantrang yang diberlakukan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tidak kunjung terselesaikan.

Menurut Abdul Halim, polemik tersebut juga berdampak pada mangkrakya ribuan kapal cantrang di Pulau Jawa, baik berukuran kecil di bawah 10 gross tonnage (GT) hingga yang berukuran di atasnya. Selain itu, ujar dia, terdapat persoalan pembiayaan usaha perikanan yang disalurkan melalui Badan Layanan Umum Lembaga Pengelolaan Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP).

Abdul Halim yang juga menjabat Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu mengemukakan bahwa BLU-LPMUKP mendapatkan porsi anggaran sebesar Rp500 miliar pada 2017 dan Rp850 miliar pada 2018. Dengan anggaran sebesar itu, ia berpendapat bahwa seharusnya pembiayaan fokus diarahkan untuk mendukung terwujudnya praktik pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Kemudian, Abdul Halim juga menginginkan debat capres membahas mengenai besarnya volume dan nilai ekspor rajungan dan kepiting ke sejumlah negara. Ia mencemaskan bahwa tingkat ekspor bila didorong terus juga bisa berpotensi mendorong eksploitasi yang melebihi ambang batas sehingga tidak berkelanjutan pengelolaannya.

"Jika pola pembangunan kelautan dan perikanan terus-menerus diarahkan untuk mengejar target ekspor ikan secara gelondongan semata, niscaya stok sumber daya protein di laut yang diklaim terus meningkat bakal habis tak tersisa," kata Abdul Halim ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (13/2).

Abdul Halim juga mengatakan ingin debat menyorot terlalu fokusnya pada upaya penenggelaman kapal ikan juga berpotensi mengabaikan berbagai ikhtiar lain untuk menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab di dalam negeri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement