Selasa 12 Feb 2019 19:22 WIB

JK: Anggaran yang Bocor Hanya 2,5 Persen Bukan 25 Persen

JK membantah pernyataan jika anggaran yang bocor mencapai 25 persen.

Wakil Presiden Jusuf Kalla saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (12/2).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui acanya kebocoran APBN Tahun 2018. Namun, JK membantah jika anggaran yang bocor mencapai 25 persen seperti yang disampaikan oleh Capres Prabowo Subianto.

"Bukan 25 persen, hanya 2,5 persen dari anggaran. Jadi tidak 25 persen dari total APBN, hanya 2 sampai 2,5 persen dari APBN. (Kebocoran) Itu bahaya juga ya, jangan (diasumsikan) saya bilang kecil, tapi bahaya juga itu," kata JK di Kantor Wapres Jakarta, Selasa (12/2).

Wapres menjelaskan anggaran yang berpotensi untuk bocor atau dikorupsi adalah pos untuk belanja modal dan belanja barang yang senilai sekitar Rp500 triliun hingga Rp600 triliun. Sedangkan pos anggaran untuk belanja pegawai dan operasional, seperti gaji pegawai negeri sipil, subsidi, anggaran untuk bayar utang, untuk bayar bunga utang dan bantuan sosial, tidak bisa dikorupsi.

"Yang bisa dikorupsi atau bocor itu hanya belanja modal dan belanja barang, yang dari APBN kita itu kurang lebih Rp500 triliun lebih. Jadi yang bisa dikorupsi cuma ini, proyek, belanja barang, beli pesawat," tambahnya.

Berdasarkan data penanggulangan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wapres JK menjelaskan rata-rata dana yang dikorupsi berkisar antara 7 hingga 12 persen dari anggaran proyek pemerintah.

"Jadi kalau katakanlah Rp550 triliun itu belanja barang dan belanja modal, itu maksimum yang bisa diambil (dikorupsi, red.) kalau 10 persen itu Rp50 triliun. Memang jelek, salah, tapi tidak Rp500 triliun. Jadi salah penafsirannya," jelasnya.

Namun demikian, upaya pemerintah untuk menindak tegas pelaku korupsi terus dilakukan yang dibuktikan dengan banyaknya pejabat negara dan pejabat daerah ditangkap KPK.

"Akibatnya kan ada 500-an orang ada di Sukamiskin, semuanya itu karena 'bocor' itu tadi. Jadi pemerintah keras sekali, tidak memberikan toleransi," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement