Senin 11 Feb 2019 21:50 WIB

Anies Ambil Alih Pengelolaan Air Melalui Tindakan Perdata

Pengambilalihan melalui tindakan perdata merupakan opsi dari tim tata kelola air.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Bayu Hermawan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Kelurahan Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (2/1).
Foto: Republika/Farah Nabila Noersativa
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Kelurahan Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (2/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengambil salah satu opsi dalam pengambilalihan air yang dilakukan privatisasi oleh dua perusahaan swasta sebagai mitra dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PD PAM Jaya. Opsi yang ditawarkan oleh Tim Tata Kelola Air yang diambil oleh pemprov adalah pengambilalihan melalui tindakan perdata.

“Nah, opsi yang disarankan oleh Tim Tata Kelola adalah pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata. Dan opsi itulah yang kami ikuti,” kata Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/2).

Anies menuturkan, rekomendasi itu merupakan hasil kajian yang telah dilakukan oleh Tim Tata Kelola Air dari semenjak dibentuk pada 10 Agustus 2018 lalu dengan masa pengkajian selama enam bulan. Dengan adanya keputusan rekomendasi itu, pihaknya meminta kepada PD PAM Jaya untuk menuntaskan pengambilalihan air dalam kurun waktu satu bulan.

Sehingga, ketika telah mencapai satu bulan, maka hal-hal pengambilalihan itu bisa dirangkum dalam sebuah perjanjian yang disebut Head of Agreement atau HOA. HOA itu, kata dia, akan berisi kesepakatan awal sebelum ada MoU atau Perjanjian Kerja Sama.

“Jadi itu nanti mengatur agendanya apa saja, yang diatur apa saja, yang akan dibicarakan apa saja. Sehingga ada kesepakatan atau roadmap. Kesepakatan atau roadmap ini bisa kita pegang sama-sama sebagai komitmen bersama, bahwa di sini kita akan membahas A, B, C, D, E, F, G. Gitu kira-kira. Jadi kesepakatan agenda utama,” kata Anies.

Pengambilalihan ini, kata dia, ditekankan kepada komponen kepemilikan. Sehingga, perihal pelayanan dan lain-lain adalah kewajiban korporasi yang harus tetap ditunaikan. Artinya, siapapun pemegang saham, maka dia harus tetap menjalankan pelayanan sesuai dengan SPM yang sudah disepakati.

Anies tak memungkiri, pengambilalihan dengan opsi tersebut nantinya akan memberikan dampak biaya yang akan ditanggung oleh pemprov. Namun, dia masih belum bisa memastikan adanya besaran biaya yang harus dikeluarkan.

“Nanti akan ada proses akan dilihat valuasinya dll. Baru kemudian kita sampai angka. Dan itu bisa dikerjakan bukan saja pemerintah melalui alokasi anggaran. Tapi juga bisa B to B, dan swasta. Artinya pembiayaan, PDAM mencarikan sumber pendanaan dari banyak tempat,” kata dia.

Dengan adanya keputusan pengambilalihan melalui tindakan perdata, artinya pemprov menjalankan kemauan dari pemprov sendiri. Dia menerangkan, maksud kemauan pemprov adalah ingin mengambil alih seluruh air yang ada di DKI Jakarta, sesuai dengan putusan Makhamah Agung sebelum dilakukan Peninjauan Kembali (PK) oleh Kementerian Keuangan dan dikabulkan.

“Dan kemauan kita sebetulnya sejalan dengan Keputusan MA yang belum di-PK. Dan ini lebih benar lagi. Begini. Ini perintah konstitusi. Sebenarnya konstitusi mengatakan bahwa ini dipakai sebesar-besarnya untuk rakyat. Tahun 1997, pemerintah mendelegasikan itu kepada swasta. 20 tahun kemudian, ternyata tidak mencapai target. Karena itu sekarang kita akan ambil kembali,” kata Anies.

Oleh sebab itu, dia mengambil kembali terlebih dahulu, terutama pendelegasian yang diberikan kepada swasta yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta. Namun, kata dia, bila saja swasta berhasil dalam menjalankan tugas pelayanan air yang optimal kepada masyarakat, maka pemprov tak akan memutuskan hal ini.

Direktur Amrta Institute yang juga anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta Nila Ardanie menuturkan, setelah dilakukan kajian komprehensif yang meliputi aspek hukum, ekonomi, juga aspek keberlanjutan layanan, pihaknya mengidentifikasi terdapat tiga pilihan kebijakan rekomendasi.

“Yang pertama, kita biarkan saja. Tapi itu tadi konsekuensinya, layanan tidak akan meningkat banyak. Seperti ini saja. Karena waktunya sudah tinggal 4 tahun,” kata Nila di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/2).

Oleh karena masa kontrak hanya tinggal empat tahun, dia berpendapat, maka kecil kemungkinan kedua perusahaan swasta mau berinvestasi dalam jumlah besar. Kemudian, prosedur yang akan dilalui oleh pemprov sendiri dan PAM Jaya kalau mau ikut masuk untuk membantu peningkatan layanan, juga tidak mudah. Artinya, Penyertaan Modal Daerah (PMD) tak bisa dioptimalkan mengingat adanya kerja sama dengan swasta.

Pihaknya mengkaji,  bila pemprov mengambil opsi ini, maka kemungkinan pemprov akan mengalami kerugian sebanyak Rp 6,7 trilun pada Palyja, dan tambahan Rp 1,8 triliun pada Aetra.

Dia melanjutnya, opsi kedua yaitu pemutusan kontrak saat ini juga, dan sesegera mungkin, serta secara sepihak. Nila mengatakan, opsi itu adalah bukan pilihan yang cukup baik. Sebab, pemprov juga harus memperhatikan iklim bisnis di Jakarta dan juga di Indonesia.

Lalu, opsi ketiga itu adalah opsi pengambilalihan melalui tindakan perdata. “Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Kita bisa beli sahamnya Palyja maupun Aetra. Ini tentu perlu proses pembicaraan yang juga tidak mudah. Tapi tentunya harus ada uji tuntas dulu, sehingga prosesnya bisa transparan. Semuanya juga (harus) tahu berapa sebetulnya nilainya, kemudian prosesnya,” ujar Nila.

Masih ada dua opsi lainnya yang direkomendasi oleh Tim Tata Kelola Air. Yaitu, menggunakan perjanjian kerja sama yang mengatur mengenai penghentian kontrak.

Opsi terakhir, kata dia, adalah pengambilalihan sebagian layanan. Artinya, pemprov bisa mengambil alih sebagian layanan seperti instalasi pengolahan dan distribusi sebelum masa kontrak berakhir pada 2023 mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement