Selasa 12 Feb 2019 06:19 WIB

DKI Ambil Alih Kelola Air Melalui Perdata

Opsi terakhir dengan pengambilalihan instalasi pengolahan dan distribusi

Rep: Farah Noersativa/ Red: Bilal Ramadhan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengambil salah satu opsi dalam pengambilalihan air yang dilakukan privatisasi oleh dua perusahaan swasta sebagai mitra dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PD PAM Jaya. Opsi yang ditawarkan oleh Tim Tata Kelola Air yang diambil oleh pemprov adalah pengambilalihan melalui tindakan perdata.

Nah, opsi yang disarankan oleh Tim Tata Kelola adalah pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata. Dan, opsi itulah yang kami ikuti,” kata Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/2).

Anies menuturkan, rekomendasi itu merupakan hasil kajian yang telah dilakukan oleh Tim Tata Kelola Air semenjak dibentuk pada 10 Agustus 2018 lalu dengan masa pengkajian selama enam bulan. Dengan adanya keputusan rekomendasi itu, pihaknya meminta kepada PD PAM Jaya untuk menuntaskan pengambilalihan air dalam kurun waktu satu bulan.

Sehingga, ketika telah mencapai satu bulan, hal-hal pengambilalihan itu bisa dirangkum dalam sebuah perjanjian yang disebut head of agreement atau HOA. HOA itu, kata dia, akan berisi kesepakatan awal sebelum ada MoU atau Perjanjian Kerja Sama.

“Jadi, itu nanti mengatur agendanya apa saja, yang diatur apa saja, yang akan dibicarakan apa saja. Sehingga, ada kesepakatan atau roadmap. Kesepakatan atau roadmap ini bisa kita pegang sama-sama sebagai komitmen bersama bahwa di sini kita akan membahas A, B, C, D, E, F, G. Gitu kira-kira. Jadi, kesepakatan agenda utama,” kata Anies.

Pengambilalihan ini, kata dia, ditekankan kepada komponen kepemilikan. Sehingga, perihal pelayanan dan lain-lain adalah kewajiban korporasi yang harus tetap ditunaikan. Artinya, siapa pun pemegang saham maka dia harus tetap menjalankan pelayanan sesuai dengan SPM yang sudah disepakati.

Anies tak memungkiri, pengambilalihan dengan opsi tersebut nantinya akan memberikan dampak biaya yang akan ditanggung oleh pemprov. Namun, dia masih belum bisa memastikan adanya besaran biaya yang harus dikeluarkan.

“Nanti akan ada proses yang dilihat valuasinya, dan lain-lain. Baru kemudian kita sampai angka. Dan, itu bisa dikerjakan bukan saja pemerintah melalui alokasi anggaran, tapi juga bisa B to B, dan swasta. Artinya pembiayaan, PDAM mencarikan sumber pendanaan dari banyak tempat,” kata dia.

Dengan adanya keputusan pengambilalihan melalui tindakan perdata, artinya pemprov menjalankan kemauan dari pemprov sendiri. Dia menerangkan, maksud kemauan pemprov adalah ingin mengambil alih seluruh air yang ada di DKI Jakarta, sesuai dengan putusan Makhamah Agung sebelum dilakukan Peninjauan Kembali (PK) oleh Kementerian Keuangan dan dikabulkan.

“Dan, kemauan kita sebetulnya sejalan dengan Keputusan MA yang belum di-PK. Dan, ini lebih benar lagi. Begini. Ini perintah konstitusi. Sebenarnya konstitusi mengatakan bahwa ini dipakai sebesar-besarnya untuk rakyat. Tahun 1997, pemerintah mendelegasikan itu kepada swasta. Setelah 20 tahun, ternyata tidak mencapai target. Karena itu, sekarang kita akan ambil kembali,” kata Anies.

Oleh sebab itu, dia mengambil kembali terlebih dahulu, terutama pendelegasian yang diberikan kepada swasta, yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta. Namun, kata dia, bila saja swasta berhasil dalam menjalankan tugas pelayanan air yang optimal kepada masyarakat maka pemprov tak akan memutuskan hal ini.

Direktur Amrta Institute yang juga anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta Nila Ardanie menuturkan, setelah dilakukan kajian komprehensif yang meliputi aspek hukum, ekonomi, juga aspek keberlanjutan layanan, pihaknya mengidentifikasi terdapat tiga pilihan kebijakan rekomendasi.

“Yang pertama, kita biarkan saja. Tapi, itu tadi konsekuensinya, layanan tidak akan meningkat banyak. Seperti ini saja. Karena waktunya sudah tinggal 4 tahun,” kata Nila di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/2).

Oleh karena masa kontrak hanya tinggal empat tahun, dia berpendapat, kecil kemungkinan kedua perusahaan swasta mau berinvestasi dalam jumlah besar. Kemudian, prosedur yang akan dilalui oleh pemprov sendiri dan PAM Jaya kalau mau ikut masuk untuk membantu peningkatan layanan, juga tidak mudah. Artinya, Penyertaan Modal Daerah (PMD) tak bisa dioptimalkan mengingat adanya kerja sama dengan swasta.

Pihaknya mengkaji, bila pemprov mengambil opsi ini, kemungkinan pemprov akan mengalami kerugian sebanyak Rp 6,7 triliun pada Palyja, dan tambahan Rp 1,8 triliun pada Aetra.

Dia melanjutkan, opsi kedua, yaitu pemutusan kontrak saat ini juga, dan sesegera mungkin, serta secara sepihak. Nila mengatakan, opsi itu adalah bukan pilihan yang cukup baik. Sebab, pemprov juga harus memperhatikan iklim bisnis di Jakarta dan juga di Indonesia.

Lalu, opsi ketiga itu adalah opsi pengambilalihan melalui tindakan perdata. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yaitu dengan membeli saham Palyja ataupun Aetra. Meski, menurutnya, perlu proses pembicaraan yang juga tidak mudah.

“Tapi, tentunya harus ada uji tuntas dulu sehingga prosesnya bisa transparan. Semuanya juga (harus) tahu berapa sebetulnya nilainya, kemudian prosesnya,” ujar Nila.

Masih ada dua opsi lainnya yang direkomendasi oleh Tim Tata Kelola Air yaitu, menggunakan perjanjian kerja sama yang mengatur mengenai penghentian kontrak. Opsi terakhir, kata dia, adalah pengambilalihan sebagian layanan. Artinya, pemprov bisa mengambil alih sebagian layanan seperti instalasi pengolahan dan distribusi sebelum masa kontrak berakhir pada 2023 mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement