Senin 11 Feb 2019 08:19 WIB

Kebebasan Pers yang Terusak oleh Susrama

Wapres JK menyebut pencabutan remisi dilakukan karena Susrama merusak kebebasan pers

Rep: Fauziah Mursid, Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Karta Raharja Ucu
Jurnalis dan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bali menggelar aksi damai mendesak pembatalan remisi bagi I Nyoman Susrama di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, Jumat (25/1/2019).
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Jurnalis dan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bali menggelar aksi damai mendesak pembatalan remisi bagi I Nyoman Susrama di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, Jumat (25/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencabutan remisi terhadap I Nyoman Susrama, terpidana pembunuh wartawan Radar Bali, AA Gede Bagus Narendra Prabangsa disebut-sebut karena banyaknya aspirasi dari masyarakat. Berdasarkan aspirasi yang masuk, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla perbuatan Susrama melanggar dua hal, yaitu melakukan kriminalitas dan merusak kebebasan pers.

"Tentu Presiden mendengarkan aspirasi masyarakat bahwa kalau pembunuh wartawan ada dua, pertama kriminal, kedua ingin merusak kebebasan pers. Jadi dua pelanggaran yang dilakukannya," ujar JK saat ditemui di rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Ahad (10/2), saat mengungkapkan alasan Presiden Joko Widodo mencabut remisi terhadap Susrama.

JK menilai keputusan untuk memberi maupun mencabut remisi merupakan hak prerogatif seorang presiden. Karena itu, ia menilai tentu keputusan tersebut sudah didasarkan berbagai pertimbangan. "Ya itu hak prerogatif Presiden kan. Remisi diberikan oleh menteri, bisa dicabut atas," ujarnya.

Dunia pers digemparkan oleh keputusan Presiden Jokowi memberikan remisi kepada Susrama pada awal tahun 2019. Remisi itu sontak mendapat tanggapan berbagai pihak, mulai dari keluarga AA Gede Bagus Na rendra Prabangsa, organisasi jurnalistik, dan akademisi. Puncaknya, Aliasi Jurnalistik Indonesia (AJI) Bali dan keluarga korban pembunuhan berencana tersebut menyurati Presiden.

Pada Sabtu (2/2), Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hu kum dan Hak Asasi Manusia (Ke- menkumham) Sri Puguh Budi Utami berdialog dengan kalangan jurnalis dari Solidaritas Jurnalis Bali (SJB) di Denpasar. Ia mengatakan, pihaknya akan kembali mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar remisi Susrama dicabut.

"Kami yakinkan tidak hanya dikaji, karena teman-teman wartawan Bali sudah menyampaikan dengan mekanisme surat dengan alasan yang benar sehingga ini bisa menjadi dasar untuk mengusulkan kembali kepada Presiden Joko Widodo agar mencabut atau membatalkan remisi khusus untuk I Nyoman Susrama," ujarnya.

Sri Utami mengakui pihaknya terus mengingatkan Kepala UP Pas agar berhati-hati dalam mengusulkan narapidana yang akan diajukan remisi serta harus ditelaah dengan baik dan benar kasus dari narapidana yang mau diusulkan. "Jadi, pihaknya kembali mengatakan, yang mengeta hui secara detail jejak para terpidana ini dari UPT Pas. Ini menjadi momentum kami untuk terus mengingat kan jajaran kami agar hati-hati, cermat, dan teliti. Supaya keputusan yang diambil dapat diterima masyarakat juga, meski hanya 75 persen," katanya.

Buntutnya, Presiden Jokowi mengaku telah menandatangani pencabutan remisi tersebut. Hal itu diungkapkan dalam kegiatan puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Surabaya, Sabtu (9/2).

Bahan evaluasi

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi mencabut remisi terhadap Susrama. Menurut dia, ini pertama kalinya di Indonesia ada seorang presiden mencabut kembali remisi yang telah diberikan sebelum nya.

"Belum pernah terjadi sebelumnya, ini baru pertama kalinya. Dari sisi hukum sih boleh saja presiden mencabut remisi itu," kata Ketua Badan Pengurus ICJR, Anggara, Sabtu (9/2).

Menurut dia, secara politis hal ini tentu tidak baik bagi citra presiden. Sebab itu, dia menyarankan agar kelak ada evaluasi untuk mekanisme pemberian hak-hak kepada nara pidana.

Dalam hal ini, dia mencontohkan, untuk memberikan pengurangan masa tahanan, mekanismenya cukup dengan menggunakan remisi. Sementara untuk perubahan hukuman, seperti yang terjadi pada Susmara, mekanismenya cukup menggunakan grasi.

"Sebaiknya dikembalikan lagi supaya tidak ada tum pang tindih. Karena grasi selain bicara perubahan (hukuman) juga pengurangan (masa tahanan). Nah, kalau memang fokusnya ke perubahan jenis pidana maka itu harus dalam bentuk grasi sebenarnya, jadi jangan pakai remisi lagi," kata dia.

Dia menilai, agar hal ini tidak terjadi lagi, perlu ada kepastian hukum yang diatur dalam mekanisme pembe rian hak kepada narapidana. "Enggak bagus juga kan seorang presiden sudah membuat keputusan tiba-tiba dicabut dalam waktu yang tidak lama itu. Secara politis sebetulnya tidak cukup baik untuk seorang presiden, tapi bahwa dia mendengar aspirasi masyarakat itu harus diapresiasi," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement