Sabtu 09 Feb 2019 07:03 WIB

Gerakan Feminis dan Dakwah Muslimah

Gerakan feminis tampaknya berubah haluan menjadi gerakan radikal yang antilaki-laki

Persamaan gender (ilustrasi).
Foto: remajaindonesia.org
Persamaan gender (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rahmatul Husni, Kandidat Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Program Beasiswa 1.000 Ulama BAZNAS-DDII

Gerakan feminis di lingkungan Muslim hanya akan berhasil jika berorientasi pada ajaran Islam (Alquran dan sunah), bukan didasarkan pada ide-ide orientalis Barat, yang belum tentu cocok atau bahkan justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Pemikiran tersebut pernah digagas Dr Lois Lamya, istri Profesor Isma’il Raji al-Faruqi. Pasalnya, isu gender yang belakangan kian kencang diembuskan gerakan feminis, berawal dari rasa ‘sakit hati’ kaum wanita di Barat atas sejarah kelam yang mereka alami.

Sejak zaman Plato dan Aristoteles hingga tokoh abad pertengahan dan modern, seperti St Clement dari Alexandria, St Agustinus John Locke, Rousseau, dan Nietzche, semuanya seolah bermufakat, wanita adalah makhluk hina-dina, biang kerok segala permasalahan.

Stigma ini kemudian menjelma menjadi kemarahan bagi kaum feminis di Barat. Sebutlah Mary Wollstonecraft (1759-1797) yang dianggap nenek moyang kaum feminis, ia mengecam segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.

Dalam pandangannya, wanita harus memiliki kesamaan hak dengan laki-laki dalam pendidikan dan politik. Kelemahan wanita terletak pada faktor lingkungan, bukan bawaan. Maka itu, wanita harus sekolah sama seperti laki-laki agar tidak menjadi burung dalam sangkar.

Ide ini ia cetuskan dalam tulisannya, A Vindication of the Rights of Woman (Todd, 2000). Gagasan Wollstonecraft pada zamannya mungkin dianggap tepat. Tak ada yang salah dengan usahanya menyadarkan wanita agar tidak terpuruk dalam kebodohan.

Yang jadi masalah, ketika gerakan feminis ini sudah melewati batas, maka yang terjadi adalah kebalikannya. Inilah yang dikatakan Imam al-Ghazali, kullu syai’in idza balagha haddahu in kasa ‘ala dhiddihi’.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis tampaknya berubah haluan menjadi gerakan radikal yang antilaki-laki. Tidak sekadar menyamakan derajat intelektual dan sosial wanita, tetapi justru mengarah pada revolusi hegemoni atas kaum laki-laki.

Mereka mengutuk patriarki, merayakan lesbi, dan mencemooh pernikahan. Bagi mereka, pernikahan sama dengan ‘living with the enemy’. Seolah tak mau ketinggalan, beberapa tokoh Islam ‘terbawa arus’ pemahaman gender dengan perspektif feminis radikal.

Terdapat nama seperti Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hasan dari Pakistan, Taslima Nasreen dari Bangladesh, dan paling terkenal Amina Wadud dari AS yang menjadi khatib dan imam shalat Jumat di gereja (Arif, 2017).

Di Indonesia, radikalisme kaum feminis ini sudah sampai pada tahap konstitusi. Pada Bab VIII, Pasal 67 RUU KKG disebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu”.

Inilah yang dianggap sebagai keadilan gender dan pembelaan hak-hak wanita bagi kaum feminis. Dengan kata lain, keadilan yang dimandatkan Tuhan melalui kitab suci (Alquran) dianggap tidak relevan lagi karena pembatasan dari undang-undang ini.

Konsekuensinya, pembagian waris laki-laki dan perempuan adalah 50:50, wanita boleh menjadi imam shalat laki-laki, boleh menjadi khatib, boleh menjadi wali nikah, dan sebagainya (Shalahuddin, 2012).

Yang terbaru, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Entah disengaja atau tidak, ada saja pihak yang ternyata gagal paham memberikan analisis dan tanggapan terhadap RUU ini.

Misalnya saja, menganggap tidak ada kalimat yang menyatakan secara verbal pro perzinaan dan pro LGBT, walaupun mengakui tidak ada larangan untuk itu. Ini sama saja menjaizkan zina dan LGBT dengan alasan tidak ada anjuran dan larangan, boleh-boleh saja.

Hal lebih fatal sebenarnya membuang pandangan dunia dan kerangka kerja sebagai Muslim, dengan memberi kesan negatif pihak yang berseberangan sebagai orang yang mendasari pemikirannya untuk memasukkan pertimbangan unsur agama dan moralitas.

Perlu diingat, sila pertama dan kedua Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Artinya, Indonesia berlandaskan nilai agama dan moralitas, mengesampingkannya adalah tindakan inkonstitusional.

Isu gender semacam ini memang menggoda untuk dicermati. Kata equal digunakan sebagai senjata mematikan, seolah orang yang tidak pro adalah orang yang antikesetaraan dan cenderung diskriminatif.

Sadar atau tidak, gagasan antidiskriminasi dan pengangkatan derajat wanita sebenarnya telah ada sejak Nabi Muhammad diutus Allah untuk menyampaikan risalah wahyu. Buktinya, tidak ada satu pun ayat Alquran yang bias gender.

Dalam memandang masalah gender, Islam melihat derajat laki-laki dan wanita berdasarkan tingkat ketakwaannya (QS Ali-Imran: 195). Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan pakaian bagi wanita, dan begitu pun sebaliknya (QS al-Baqarah: 187).

Di sisi lain, ketika memasuki kehidupan berumah tangga, laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing yang tidak bisa dicampur aduk satu sama lain (QS al-Baqarah: 228).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement